Selasa, 31 Maret 2009

FILSAFAT PENDIDIKAN REALISME

Oleh : Pujiono, A.Md., S.Th.

BAB I

PENDAHULUAN

Secara etilomogis filsafat berasal dari kata ”Philos” yang artinya love (cinta) dan ”Sophia” yang artinya wisdom (kebijaksanaan, kearifan). Jadi filsafat dapat diartikan cinta secara mendalam terhadap kebijaksanaan, cinta akan kearifan. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang berusaha untuk mencapai kebijaksanaan dan kearifan. Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir yang memiliki tiga ciri, yaitu radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung), sistematis (berpikir logis), dan universal (berpikir secara menyeluruh). 1

Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipahami seluruhnya, tanpa memahami tujuan akhir, yang bersumber kepada tujuan serta pandangan hidup manusia. Konsep tentang dunia pandangan dan tujuan hidup, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan.

Pendekatan mengenai apa dan bagaimana filsafat pendidikan, dapat dilakukan melalui beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama mengatakan bahwa filsafat pendidikan dapat tersusun karena adanya hubungan linier antara filsafat dan pendidikan. Sebagai contoh; sejumlah aliran filsafat dapat dihubungkan sedemikian rupa menjadi filsafat pendidikan. Idealisme dan pendidikan menjadi filsafat pendidikan idealisme, demikain juga realisme menjadi filsafat pendidikan realisme, dan seterusnya.

Pengetahuan yang didasarkan atas persepsi memunculkan pertanyaan dasar, apakah hal yang kita ketahui mempertahankan keberadaan dan karakternya sendiri tanpa terpengaruh oleh kita yang mengetahui atau dengan kata lain apa yang kita ketahui ketika kita mengetahui? Ada tiga pandangan tentang sifat dan kemandirian dunia materiil dan orang yang ingin mengetahuinya yaitu realisme, dualisme, dan idealisme. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pandangan realisme.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG REALISME

  1. Pengertian Realisme

Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh, nyata benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Karena itu, realisme berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.

Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap pancaindra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada. Contoh : Batu yang tersandung di jalan yang baru dialami memang ada. Bunga mawar yang bau harumnya merangsang hidung sungguh-sungguh nyata ada bertengger pada ranting pohonnya di taman bunga. Kucing yang dilihat mencuri lauk di atas meja makan betul-betul ada dan hidup dalam rumah keluarga itu.

Adanya benda tetumbuhan, makhluk hidup, dan manusia itu lengkap. Mereka tidak hanya ada dalam bayangan dan budi sebagai esensia atau hakikat yang abstrak, tetapi lengkap dengan eksistensia atau keberadaan mereka masing-masing. Contoh : Batu yang tersandung waktu orang melintas di jalan bukan hanya bayangan dan konsep ”kebatuan”, tetapi memang ada, dapat disentuh, menyembul keluar di badan jalan. Kucing yang mencuri lauk bukan hanya bayangan dan konsep ”kekucingan”, tetapi betul-betul ada dan bila dipegang memang mencakar.

Jadi, yang ada dan dialami oleh pancaindra dan dimengerti oleh budi itu tak dapat diragukan memang ada; dengan lingkup dan esensia dan eksistensianya, dengan hakikat dan keberadaannya, dan merupakan makhluk yang ada dan hidup. Karena hanya bila berupa bayangan, konsep, esensianya saja, bagaimana batu dapat disandungi, bunga mawar dapat dicium baunya, kucing dapat kelihatan waktu mencuri lauk?

Realisme mengakui dan menerima kesatuan antara esensia dan eksistensia, hakikat dan keberadaan objek yang ditangkap pancaindra dan dimengerti oleh budi. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.2

  1. Bentuk-Bentuk Realisme

Ada setidaknya dua bentuk realisme yang jelas dan berarti yang memerlukan perhatian individu, yaitu realisme ekstrem/primitif dan realisme akal sehat.

  1. Realisme ekstrem/primitif

Cara paling alamiah dan sederhana untuk menginterprestasikan hubungan antara subyek dan obyek adalah dengan memahami setiap obyek yang dialami sebagai tidak dipengaruhi pengamat manapun. Penganut realisme akan mengatakan bahwa sebagaimana kaki Anda dapat berada di bawah meja dan keberadaannya tidak tergantung pada hubungan antara meja dan kaki, begitu juga obyek apapun dapat Anda (sebagai subyek) ketahui tanpa dipengaruhi oleh Anda. Pendapat ini adalah pandangan yang tanpa dipikir dari orang biasa di jalanan. Umumnya orang mulai mempertanyakan pendapat ini hanya sesudah orang mengenal beberapa masalah filosofis.3

Realisme ekstrem, yang berpendapat bahwa abstraksi itu ada sebagai entitas riil dalam dimensi lain realitas dan bahwa konkret yang kita persepsi hanyalah merupakan cerminan yang tidak sempurna, namun konkret tersebut menyebabkan timbulnya abstraksi dalam pikiran kita.

Mazhab realisme ekstrem, pada hakikatnya, berusaha untuk memelihara keunggulan eksistensi (realitas) dengan melepaskan kesadaran yaitu dengan memasukan konsep ke dalam yang ada konkret dan mereduksi kesadaran pada tingkat perseptual, yaitu pada fungsi otomatis pemahaman persep (dengan sarana adikodrati, karena persep seperti itu tidak ada).4

Kelemahan realisme ekstrem adalah ada pengalaman universal kekeliruan menilai persepsi; tidak ada penjelasan mengenai objek khayalan/halusinasi; semua persepsi tergantung konteks visual.

  1. Realisme akal sehat

Pada awalnya, realisme akal sehat tampaknya memperlunak masalah-masalah realisme ekstrem, tetapi menghindari kepalsuan yang segera dirasakan orang dengan adanya dualisme dan idealisme. Realisme akal sehat sepakat dengan realisme ekstrem atau primitif bahwa obyek-obyek fisik tidak bergantung pada pikiran atau berada di luar pikiran, walaupun obyek-obyek itu secara langsung dan seketika dapat diobservasi oleh pikiran. Hal yang membedakan dua pandangan ini adalah pemahaman realisme akal sehat tentang obyek yang tidak nyata, yang khayalan atau yang merupakan halusinasi. Persepsi semacam ini bersifat subyektif, dan obyek-obyeknya seluruhnya terdapat di dalam pikiran.

Realisme akal sehat memiliki kelebihan dalam mengatasi kritik kedua yang diajukan terhadap realisme ekstrem atau primitif. Menurut realisme akal sehat, obyek yang khalayan tidak berdiri sendiri dan berada di luar pikiran, tetapi dalam beberapa hal merupakan produk pikiran.


BAB III

FILSAFAT PENDIDIKAN

MENURUT PANDANGAN REALISME


A. Dasar Pemikiran Pendidikan Realisme

Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat kenyataan itu berada pada ”hal” atau ”benda”. Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik.5

B. Prinsip-Prinsip Pendidikan Realisme

Para pengikut realisme ada kesepakatan tentang prinsip dasar yang berhubungan dengan pendidikan. Beberapa prinsip dasar pendidikan realisme adalah sebagai berikut :

    1. Belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya.

    2. Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak.

    3. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek mater yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Secara luas lingkungan materiil dan sosial, manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.

Tinjauan mengenai filsafat pendidikan realisme menurut aspek ontologi menunjukkan bahwa pendidikan itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh tanpa tereduksi. Jadi, peserta didik adalah individu yang perlu menjadi sasaran untuk dipelajari apa adanya. Dalam hubungan ini adanya ilmu-ilmu bantu yang termasuk ke dalam lingkungan sosiologi, budaya, dan sebagainya, perlu mendapat perhatian sebagai landasan pendidikan. Selanjutnya masih perlu diadakan pengujian dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu tersebut.

Pembahasan dapat diteruskan dengan mengetengahkan epistemologi menurut filsafat pendidikan realisme. Pengetahuan, menurut realisme adalah hasil yang dicapai oleh proses dimana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia dalam ”menyerap” objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan produk dari seberapa jauh pendidikan dapat mempelajari secara ilmiah empirik mengenai peserta didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.

Dalam hal aksiologi pendidikan, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai. Misalnya, bila pendidik memperkenalkan tentang sesuatu yang baik atau buruk maka persepsi dan apersepsi yang timbul pada peserta didik perlu dicatat untuk digunakan sebagai dasar penyelenggaraan proses pendidikan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pendidikan itu pada hakikatnya berlangsung secara alami.6


BAB IV

PENUTUP

Realisme menetapkan bahwa kita langsung berhubungan dengan suatu dunia yang berada di luar, bersifat materiil, dan mandiri. Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.

Teori realisme mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut relisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.7

Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.


1 Drs. H. Burhanuddin Salam, Pengantar Pedagogik, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), hal. 33

2 A. Mangun Hardjana, Isme-Isme dalam Etika A-Z, (Yogyakarta:Kanisius, 1997), hal. 195-96,

3 Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat Dari Perspektif Kristiani, (Malang: Gandum Mas, 2002), hal. 141-142

4Ayn Rand, Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 78

5 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 15


6 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 17-18

7 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), cet.1, hal. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar