Minggu, 11 Oktober 2009

Keberhasilan dan Kegagalan Pendidikan Kristen
Berbicara tentang keberhasilan atau kegagalan pendidikan Kristen seringkali dikaitkan dengan keberhasilan akademis peserta didik. Artinya jika peserta didik berhasil lulus 100% atau sekolah-sekolah Kristen tetap eksis dan diminati banyak orang maka sekolah Kristen dianggap berhasil. Atau memiliki banyak alumni yang berhasil menjadi orang yang “berhasil” sekolah itu dikatakan berhasil. Konsep berpikir ini sesungguhnya salah, tetapi sudah umum diterima oleh masyrakat Kristen, dan pengelola pendidikan Kristen. Mereka cukup merasa berbangga hati jika peserta didik sukses secara akademik, mereka merasa berhasil mendidik karena output yang mereka hasilkan “berkualitas.”
Pengukuran keberhasilan pendidikan Kristen tidak pernah dikaitkan dengan visi pendirian pendidikan Kristen. Padahal Visi merupakan tujuan didirikannya pendidikan Kristen itu. Keberhasilan mestinya diukur dari apakah tujuan pendirian pendidikan Kristen tercapai atau tidak. Kalau tercapai, seberapa besar? Jika tujuannya untuk menciptakan peserta didik memiliki prestasi akademis unggul, ya mestinya keberhasilan dalam bidang akademik itu yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan. Tetapi jika sebuah lembaga Kristen tujuannya hanya sesempit ini, maka tidak ada bedanya dengan pendidikan non Kristen, karena tidak ada korelasi yang tegas antara lebel Kristen dengan tujuan pendirian lembaga pendidikan. Tetapi, jika pendiriannya membawa visi-misi Kristen, maka, visi-misi Kristen itu yang menjadi alat ukur keberhasilan pendidikan, bukan kepada prestasi akademis. Jadi evaluasi institusi mestinya dikaitkan dengan visi-misi yang menjadi tujuan pendirian lembaga pendidikan Kristen.
Visi diterjemahkan dari  tujuan pendidikan. Misi diterjemahkan dari visi pendidikan ke dalam proses pendidikan atau diimplementasikan dalam filosofi pendidikan, Kurikulum pendidikan, strategi pendidikan, media pendidikan, dan evaluasi, dan managemen pendidikan untuk menjamin bahwa output memiliki kompetensi sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari pendirian lembaga  pendidikan Kristen. Hal ini dapat dirangkum dengan pernyataan dibawah ini:
Visi=      Tujuan Pendidikan
Misi=     Sarana untuk mencapai Visi.
                Misi diimplementasikan dalam Proses belajar mengajar (Filosofi pendidikan, Kurikulum, strategi, media, dan evaluasi pembelajaran, manajemen pendidikan).

Berdasarkan dari hal tersebut di atas, maka seharusnya ada kaitan erat antara visi sekolah dengan kurikulum sekolah. Tetapi faktanya, tidak banyak sekolah yang mengintegrasikan visi ke dalam proses belajar mengajar. Sehingga seakan-akan visi hanya penghias tembok sekolah saja. Atau untuk “patut-patut” saja. Visi ini yang menjadi alat ukur bahwa pendidikan Kristen berhasil atau tidak. Misalnya jika Vision Statement Pendidikan Kristen adalah Melaksanakan amanat agung melalui dunia pendidikan, maka amanat agung itu harus diimplementasikan dalam proses pendidikan, dan yang menjadi alat ukur keberhasilan itu adalah berapa orang yang mengenal Kristus dan dimenangkan melalui pendidikan.

Hal ini menunjukkan bahwa banyak pendidikan yang menamakan diri sebagai pendidikkan Kristen tetapi sesungguhnya tidak membawa misi Kristen. Banyak pendidikan Kristen yang justru membawa misi kapitalisme, membawa misi Industri, yaitu indutri pendidikan, misi profitisasi pendidikan (mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya lewat bisnis pendidikan atau komersialisasi pendidikan), yang sesungguhnya semua itu bertentangan dengan visi-misi Kekristenan. Lebih baik secara jujur pendidikan yang seperti ini memisahkan diri dari gereja, dan meninggalkan lebel pendidikan Kristen. Keberpihakan kepada ketertindasan yang menjadi visi misi kekristenan tidak tampak dalam kiprah lembaga-lembaga ini. Mereka berupaya terus eksis dalam persaingan global tetapi bukan demi visi-misi pendidikan Kristen, tetapi demi urusan perut dan dapur. Anehnya gereja-gereja tidak bersikap Kritis terhadap hal ini, dan merestui industrialisasi pendidikan berpayung gereja, komersialisasi berpayung pelayanan.
Akhirnya apakah pendidikan Kristen berhasil atau gagal? Jelas banyak yang gagal dari berhasil.

Jumat, 10 Juli 2009

Alkitab menandaskan bahwa tanggung jawab pendidikan itu berpusat pada keluarga. Tanggung jawab itu bukan hanya sekedar bertanggung jawab membiayai sekolah setinggi-tingginya, tetapi juga melaksanakan pendidikan sebaik-baiknya bagi putra dan putrinya. Seperti halnya era industri yang mengalienasi anak dari orang tua, demikian juga sekolah yang juga bagian atau kepanjangan tangan dari industri memiliki peran mempercepat hal ini. Waktu kebersamaan keluarga semakin kurang. Anak-anak sejak kecil dijejali dengan berbagai ilmu-ilmu yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan dan masa depannya yang menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kepribadian dan ketrampilannya sesuai dengan minat dan bakatnya, demi memenuhi ambisi orang tua, dan atas pesanan industri demi tersedianya tenaga kerja.

Berapa jam sehari waktu digunakan anak untuk sekolah dan keluar dari lingkup keluarga. Setelah industri memisahkan anak dari pelukan ibu sejak dini, sekolah pun melanjutkan hal yang sama, mencabut hak anak untuk mengembangkan kepribadian, kebersamaan, keceriaan, dan indahnya hidup. Sejak usia dini anak diajar berkompetisi, bukannya bersinergi.

Orang tua kini menyerahkan tanggung jawab pendidikan 90% bahkan lebih dipundak sekolah. Sekolah yang juga merupakan bagian dari industri, tidak mempermasalahkan hal ini, asalkan orang tua menukar jasa pendidikan dengan sejumlah uang. Kemanusiaan menjadi diperas sebagai intelektualitas, dan kesuksesan materi. Orang tua menjadi asing dengan anak, anka juga demikian. Orang tua merasa sudah memberikan segalanya utuk anak, tetapi anak tidak bia mengerti dan berterimakasih, sedagnkan dipihak anak, ia merasa sudah banyak menuruti kehendak dan ambisi orang tua, sampai sampai rela mengorbankan kesenangannya, masa-masa bermainnya, tetapi orang tua tidak merasa puas dan terus menuntut lebih lagi kepada anak. Hari demi hari jurang permusuhan antara anak dengan orang tua semakin lebar, kesalahpahaman semakin besar, karena orang tua tidak dapat mengerti anak, dan anak tidak dapat mengerti orang tua. Karena masing-masing dengan penjara kesibukannya. Sianak dipenjara kertas dan PR, orang tua dipenjara pabrik dan produksi.

Pendidikan gereja pun memegang peranan dalam mengalienasi anak dengan orang tua. Pendidikan anak sama sekali tidak melibatkan orang tua. Cukup guru sekolah minggu yang cerita, mengajar, orang tua hanya mengantar anak. Tanggung jawab orang tua dipindahkan kepundak sekolah minggu. Orang tua senang, karena beban mendidiknya berkurang, guru-guru sekolah minggu juga senang, karena pikirnya ia sedang melayani yang terbaik bagi anak dan menyenangkan Tuhan. Masih ada lagi lembaga-lembaga pembinaan anak-anak yang dengan rela hati dan tulus ikhlas membina anak-anak, tetapi tetap saja mencabut kebersamaan anak dengan orang tua. Memisahkan sama sekali pendidikan anak dari campur tangan orang tua. Orang tua hanya sebagai sopir yang menghantar anak-anak dalam acara pembinaan, tetapi tidak melibatkan orang tua dalam pembinaan.

Lebih bijak jika gereja maupun lembaga pembinaan-pembinaan anak menolong orang tua untuk dapat mengajar kebenaran firman Tuhan kepada anak, bukan malah mengambil alih tanggung jawab orang tua. Panduan materi diberikan, anak-anak diberikan pengajaran dari orang tuanya sendiri sesuai dengan panduan yang disediakan, dengan dipantau oleh Pembina yangkemudian bersama dengan para orang tua mendiskusikan kendala-kendala yang dijumpai. Dengan demikian gereja maupun lembaga-lembaga pelayanan anak tidak menjauhkan orang tua dari anak.

Jumat, 01 Mei 2009

Postmodern

Gereja Memasuki Zaman Postmodern

Pendahuluan

Istilah postmodern di Indonesia sekarang sudah mulai banyak dibicarakan baik lewat media lisan maupun tulisan, baik dalam dunia keristenan, maupun non Kristen. Sebenarnya apakah Post modern itu, sehingga sering disebut-sebut dan dikait-kaitkan dengan berbagai hal? Sudahkah saatnya kita di Indonesia ini berbicara tentang postmodern ini? Pertanyaan keraguan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa di Indonesia kondisi masyarakatnya begitu majemuk dalam hal tingkat kebudayaan. Di satu sisi, sebagian masyarakat hidup dalam alam yang serba wah, dengan standard moral yang tidak jelas seperti ciri-ciri postmodern, disisi lain sebagian masyarakat baru merangkak mengenal tekhnologi dan ilmu pengetahuan sebagaimana zaman modern. Sedang di belahan nusantara lain dipelosok pedalaman masih ada masyarakat yang hidup dizaman tradisional pramodern bahkan ada yang masih hidup di zaman batu.

Disamping fakta-fakta yang terjadi di Indonesia seperti tersebut di atas, postmodern sendiri di tempat kelahiranannya yaitu dunia Barat juga baru memasuki tahap transisi dari masa modern ke postmodern. Oleh karena itu sekarang dapat dikatakan postmodern baru dalam proses mencari bentuk. Para ahli pun belum memiliki kata sepakat mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam postmodern, kecuali dalam hal penolakkannya terhadap modernisme. Sehingga secara final kita tidak dapat berbicara apa itu postmodern. Mengenai hal ini Grenz mengatakan: Para Ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten.[1]

Berdasarkan kenyataan di atas, timbul suatu pertanyaan, sebenarnya sudah saatnya kah kita yang di Indonesia ini berbicara tentang postmodern? Penulis meyakini bahwa sekarang sudah saatnya berbicara tentang postmodern, bahkan sudah sangat penting dan mendesak untuk dibahas dengan serius, terutama pemimpin-pemimpin rohani. Ada beberapa alasan mengapa penulis berpendapat demikian. Pertama, mau tidak mau, dibicarakan atau tidak postmodern akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan tekhnologi informasi yang deras mengalir saat ini dampak postmodern akan sangat cepat mempengaruhi dunia. Belahan-belahan dunia yang selama ini dianggap sebagai daerah yang terasing dan terisolir ternyata sekarang banyak yang sudah dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Sementara itu, komunikasi merupakan sarana pertukaran budaya, dan nilai-nilai filosofis. Kemajuan tekhnologi komunikasi sebagai sarana tranfer infromasi inilah yang menjadi kendaraan bahkan simbol postmodern. Mengenai derasnya arus informasi di zaman postmodern ini Grothuis mengatakan: informasi tampil secara berlebihan tetapi tidak diarahkan pada tujuan tertentu, dan terpisah dari teori, makna, dan tujuan.[2] Hal ini menyebabkan manusia-manusia memiliki pola pikir yang terpecah-pecah dan tidak terstruktur.

Alasan yang kedua, penulis berkanjang dari sejarah, dimana sejarah pemikiran gereja-gereja di Indonesia di dapati sering tertinggal dengan isu-isu faktual, sehingga tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan zaman. Setelah mengalami kesulitan, barulah sibuk dengan mencari jalan keluar, tepat seperti yang dikatakan Yesus rupa langit engkau tahu, tetapi tanda-tanda zaman engkau tidak mengetahuinya. Hal ini dikarenakan pola pikir kita yang sempit, anti terhadap perubahan, dan terlena dengan kenyamanan fasilitas atau sibuk memperoleh kenyamanan fasilitas.

Mengingat bahwa postmodern pada dirinya sendiri sedang mencari bentuk atau identitas seumpama seorang remaja dalam masa krisis adolensia, maka disini penulis membatasi diri dengan hanya membahas sebatas gejala-gejala dan pencapaian-pencapaian filosofis dan sosiokultural yang telah berhasil diusahakan postmodern serta beberapa faham-faham yang diusungnya, karena sebenarnya seperti apa postmodern itu secara menyeluruh saat ini belum dapat disimpulkan secara final.

Apakah Postmodern itu?

Istilah ini membedakan dengan masa pra modern, maupun modern, meskipun masa post mdern sesungguhnya anak dari modernisme. Kalau Protestanisme menghasilkan pencerahan, evangelicalisme menghasilkan modernisme, maka pentakostalisme menghasilkan atau paling tidak menjadi daya dorong yang sangat besar bagi postmodernisme

Masa pra modern adalah masa dimana otoritas budaya berjalan dengan stabil, tanpa dipertanyakan dan dikritisi, termasuk keyakinan-keyakinan religius. Pendek kata manusia pra modern menerima apa saja yang diajarkan oleh kebijakan-kebijakan tradisional dan lembaga yang dianggap berotoritas, sehingga budaya berlangsung relatif stabil karena tanpa gejolak yang berarti seperti masa setelahnya. Sedangkan masa Modern adalah masa dipertanyakannya atau lebih tepat disangsikannya otoritas budaya berdasarkan penalaran manusia. Hal-hal yang dipertanyakan bukan saja hal-hal berkenaan dengan norma-norma budaya, tetapi juga nilai-nilai religius. Grothuis mengatakan: Modernisme dimulai dengan upaya untuk memenuhi realitas objektif tanpa perlu kembali pada wahyu ilahi atau tradisi religius.[3] Dengan demikian keyakinan terhadap kemampuan akal budi manusia mencapai puncak yang sangat tinggi, mengantikan wahyu ilahi. Rasio manusia dianggap akan mampu menjawab segala realita yang ada, termasuk dalam ranah moral dan religius. Di Eropa tempat kelahiran dari modernisme sekaligus juga tempat berkembangnya kekristenan, Alkitab di sangsikan kebenarannya dan dihakimi berdasarkan akal budi dan ilmu pengetahuan.

Akhir abad 19 hingga awal abad 20 kepercayaan terhadap kemampuan daya pikir manusia ternyata membuahkan kekecewaan, karena hasil budi daya manusia justru menghasilkan beberapa hal negatif antara lain kerusakan alam dan penderitaan dipihak manusia sendiri dengan adanya perang dunia, perang nuklir, dan perlombaan alat perang yang canggih. Modernisme dinilai gagal membawa kebaikan bagi manusia. Selain itu individualisme yang menyertai sebagai akibat perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mempercepat kekecewaan-kekecewaan yang meruntuhkan keyakinan yang besar terhadap akal budi yang selama ini dianut. Individualisme menghasilkan kekosongan jiwa dan kemiskinan relasi antar manusia.

Selain itu perjumpaan-perjumpaan dengan budaya-budaya non kristen akibat globalisasi yang dipicu kemajuan sarana transportasi dan komunikasi menyebabkan dipertanyakannya keyakinan-keyakinan filosofis dan religius yang selama ini diakui sebagai satu-satunya kebenaran. Setiap golongan mengklaim kebenaran yang diyakininya merupakan kebenaran yang paling objektif dan absolut. Perjumpaan-perjumpaan antar budaya itu mendorong munculnya suatu suatu babak sosiokultural dan filosofis yang baru, yaitu postmodern.

Mengenai postmodern Grothuis mengatakan:

Menurut mereka ide tentang kebenaran objektif harus ditinggalkan bersama dengan sisa-sisa modernisme, yang dianggap upaya menyesatkan dari abad pencerahan, yang ingin mendapat kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah dan moral. Bagi mereka kita saat ini berada dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu dibelakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana. [4]

Jadi bisa disimpulkan bahwa postmodern menolak segala kebenaran objektif dan mutlak. Satu-satunya kebenaran yang layak dipercaya adalah “kebenaran bersifat relatif.” Kepercayaan terhadap akal budi digantikan dengan kepercayaan terhadap pengalaman atau perasaan tiap-tiap individu berdasarkan pengalaman. Yongky Karman secara meyakinkan mengatakan:

Postmodernisme menyerang status khusus kebenaran yang satu, universal, total, dan absolut sebagaimana dipahami dalam modernisme. Kebenaran tunggal dan universal tidak diakui. Yang ada hanya kebenaran-kebenaran yang benar untuk setiap masyarakat atau komunitas. Maka kebenaran dipahami sebagai terpecah-pecah kedalam kebenaran-kebenaran yang sederajat tanpa accuan normatif tunggal di luarnya. Tidak ada tradisi atau ideologi yang berdiri diatas tradisi yang lain atau ideologi yang lain. Yang diyakini seseorang sebagai benar bukan lagi kebenaran tunggal melainkan bagian dari pluralisme kebenaran.[5]

Sedangkan Stanley J. Grenz mengatakan: Filsafat postmodern menerapkan teori dekonstruksi kepada realitas. Sebagaimmana setiap teks dibaca secara berbeda, demikian juga realitas akan dibaca berbeda oleh setiap orang yang menghadapi realitas tersebut. Ini berarti tidak ada makna tunggal dalam dunia, tidak ada titik pusat sebuah realita. (A Primer On Postmodernism, Andi 2001, Jogjakarta hal 14)[6]

Ini berarti postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran lain. Setiap orang bebas menafsirkan setiap realitas tanpa suatu standar apapun dan semuanya harus diakui dan dihargai sebagai kebenaran. Kebenaran bersifat relative, kebenaran bergantung pada setiap subjek. Namun demikian sebenarnya kebenaran bagi postmodern bukan sepenuhnya subjektif individualis. Subjektivitas postmodern adalah subjektivitas komunal, sebab kebenaran merupakan kesepakatan komunal. Grenz mengatakan: cara pandang postmodern menjadikan komunitas sebagai dasar pemahaman kebenaran.[7] Oleh karena penentu kebenaran adalah komunitas, maka tidak ada kebenaran yang mutlak dan kekal. Semua kebenaran bersifat relatif dan fluktuatif. Mereka menegaskan bahwa kebenaran hanyalah aturan-aturan dasar demi kesejahteraan komunitas tempat kita berada.[8] Dengan demikian keputusan keputusan pribadi tidak dianggap penting, karena setiap pribadi hendaknya menyesuaikan diri dengan komunitas. Orang-orang individulis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan komunitas akan tersingkir.

Meskipun dalam banyak hal para ahli sendiri belum memiliki kata sepakat namun pada intinya postmodern menolak metanarasi, kebenaran mutlak, objektif dan universal. Sebagai gantinya menawarkan formula relatif, subjektif, dan komunal. Sedagnkan dalam tataran aplikatif postmodern meninggalkan individualisme, religiositas, rasionalitas dengan memberikan alternatif komunalisme (kebersamaan dalam komunitas), spiritualitas (spiritualitas di terangkan sebagai hal yang berbeda dengan religiositas, karena spiritualitas diartikan sebagai kondisi bathin yang merdeka bebas dari doktrin-doktrin agama), dan eksperimentalitas.

Sejarah Singkat Perkembangan Postmodern

Konsep postmodern muncul tahun 1930-an oleh Frederico de Onis dari spanyol. Ia memperkenalkan pemikirannya sebagai reaksi atas modernisme. Namun sebenarnya sebagai gagasan-gagasan sosiokultural konsep ini sudah ada sebelumnya. Arnold Toynbee yang dianggap sebagai seseorang yang mempopulerkan postmodern meskipun ia sendiri tidak yakin kapan tepatnya masa inkubasi postmodern karena ia berpendapat mungkin lahirnya postmodern pada masa perang dunia I tahun 1914 atau tahun 1870, tetapi ia sangat yakin akan sebuah sejarah pemikiran baru yang akan segera merubah arah pemikiran dunia telah lahir.

Postmodern menjadi sebuah momentum sosiokultural kurang lebih 40 tahun kemudian meskipun sebagai konsep sudah dirumuskan tahun 1930. Leslie Fiedler lah yang menambahkan istilah post pada kata modern sehingga menjadi istilah postmodern bagi konsep yang menteng modernisme pada tahun 1965.

Postmodern menginfeksi seluruh bidang kehidupan dimulai dari suatu komunitas kecil di tahun 1960-an yang terdiri dari seniman, arsitek, dan pemikir yang mencari alternatif untuk melawan dominasi kultur modern. Sejak itu postmodern mulai menjalar secara cepat ke bidang-bidang yang lain, sehingga menjadi fenomena sosiokultural yang menyeret berbagai disiplin ilmu ke dalamnya. Berbagai reaksi kontra terhadap perkembangan postmodern dan pengeksploitasian efek-efek negatif pemikiran postmodern tidak juga membuat pemikiran ini mati, malahan menjadi semakin terkenal dan banyak orang yang terhisap kedalamnya.

Ada beberapa pemikir-pemikir Kristen yang demikian menentang arus pemikiran zaman ini dengan mencitrakan postmodern melulu negatif. Salah satunya adalah Harry Blamires. Dia mendefinisikan pemikiran postmodern sebagai pemikiran pasca Kristen atau Post Christian. Dalam Post Christian Mind dia mengatakan:

Tidak ada keraguan bahwa dengan mendekatnya abad ke 21, kekristenan menghadapi permusuhan yang hebat, termasuk negara-negara Barat yang pernah dianggap sebagai benteng peradaban Kristen. Saat meliha tsekeliling, kita pasti menyadari betapa kuat dan busuknya serangan terhadap iman Kristen yang kita pegang dan yang kita anggap sebagai dasar peradaban Barat. Humanisme sekuler merupakan campuran relativitas yang menentang berbagai nilai dan kemutlakan tradisional, dan paham ini sedagn menginfeksi udar intelektual yang kita hirup.[9]

Pandangan negatif ini tidak sepenuhnya benar, sebab dalam setiap tahap perkembangan zaman selalu terdapat unsur-unsur yang menyerang iman kekristenan. Pada masa Abad Pertengahan Wahyu ilahi dipenjara dalam hierarki organisatoris dan tradisi. Sedangkan pada masa modern yang sepertinya begitu dibela oleh Blamires, pada masa ini terdapat golongan yang menganggap kebenaran yang absolut adalah rasio manusia, dan ada golongan yang memutlakkan dogma sebagai kebenaran tertinggi, sehingga menolak segala bentuk dialog dan kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda dogma. Oeh karena itu tampaknya tidak adil jika hanya pemikiran zaman postmodern saja yang dianggap pemikiran pasca Kristen. Setiap zaman pun juga memiliki unsur-unsur pemikiran pasca Kristen. Beranjak dari hal itu kita perlu menyadari bahwa setiap tahap-tahap perkembangan zaman selalu disertai efek-efek negatif yang dihasilkan namun juga ada efek-efek positif yang disumbangkan. Demikian juga postmodern penulis yakini tidak melulu negatif, melainkan ada unsur-unsur positif, bahkan ada juga pemikiran yang sepertinya negatif bagi pemikiran kekristenan konvensional ternyata dapat didayagunakan untuk menghasilkan sesuatu yang positif.

Pola-pola Hidup Manusia Postmodern.

Pemikiran menhasilkan gaya hidup. Demikian juga pemikiran postmodern menghasilkan gaya hidup postmodern. Orang-orang cenderung menilai postmodern menghasikan gaya hidup hedonisme, menipisnya kesadaran akan nilai-nilai kesucian, dll, tetapi sebenarnya postmodern tidak identik sikap hidup yang demikian. Sikap hidup negatif tersebut merupakan salah satu hasil dari penafsiran falsafah postmodern.

Paul Hidayat mendeskripsikan gaya hidup postmodern sebagai gaya hidup yang experimentasi, pegeseran paradigma, isu moral menjadi isu fashion, isu opsi-opsi pribadi[10] Berdasarkan dari penggambaran di atas, dapat dikembangkan ciri-ciri pola hidup postmodern antara lain:

1. realita dipandang bersifat organis, holistik sehingga berhubungan satu dengan yang lain. Hal ini berbeda dalam pandangan modern yang menganggap realitas bersifat mekanis

2. kebenaran dipandang bersifat relative karena kebenaran ditafsirkan secara subjektif, fragmentaris, demi kepentingan politis dan kontekstual.

3. Menekankan unsur subjektivitas. Hal ini deisebabkan filosofis yang menyebutkan sesungguhnya realitas yang sungguh-sungguh objektif (das ding an sich) tidak dapat diketahui. Kebenaran yang selama ini diklaim sebagai kebenaran tunggal sesungguhnya hanyalah sebuah penafsiran dari suatu fenomena namun dari sudut pandang yang berbeda saja. Dalam hal moral muncul gerakan Moralitas Baru yang membenarkan sesuatu hal yang ditabukan atau dianggap dosa oleh pandangan moral tradisional.

4. Menekankan unsur pengalaman yang didapat dari eksperimentasi. Orang-orang postmodern tidak membutuhkan pembuktian secara rasio, tetapi pembuktian berdasarkan pengalaman atau melakukan eksperimen sendiri.

5. Memiliki kehausan akan relasi. Komunitas memiliki pengaruh yang sangat besar dan dianggap lebih penting dari setiap individu. Oleh karena itu keputusan-keputusan individu selalu dipengaruhi keputusan-keputusan komunitas. Individu-individu kurang berani mengambil keputusan-keputusan pribadi.

6. Mementingkan kebersamaan. Grenz mengatakan: generasi mendatang tidak lagi percaya bahwa manusia akan sanggup menyelesaikan masalah-masalah dunia sekalipun ekonomi mereka lebih baik daripada ekonomi generasi lalu (orang tua mereka). Mereka melihat bahwa hidup di dunia ini rawan, kalau manusia mau bertahan hidup, mereak harus mau bekerja sama, bukan saling menaklukkan[11] oleh karena itu klaim kebenaran eksklusive ditolak dan digantikan dengan menghargai dan mengakui adanya kebenaran dipihak lain, bahkan cenderung mengasimilasikannya. Dari hal ini munculah pemikiran inklusivisme dan pluralisme

7. Sistem organisasi berubah dari organisasi yang hirarkis menjadi model jaringan kerja (net work) yang sederajat.

8. Menolak individualisme dan rasionalisme, tetapi menerima komunalisme dan relativisme. Menolak universalisme/absolutisme dan eksklusvisme, tetapi menerima kontektualisme, partikularisme, pluralisme.

9. Secara ambigu menolak gagasan globalisasi tetapi mendorongnya terwujudnya globalisasi, meskipun globalisasi yang di wujudkan globalisasi tanpa arah (globalisasi bingung). Dalam hal Etika berusaha mewujudkan suatu bentuk etika global yang dapat diterima semua orang secara universal.

Tantangan gereja di Era Postmodern

Dengan berubahnya pola hidup masyarakat yang menjadi sasaran misi gereja, penulis berpikir gereja perlu kembali merenungkan pola-pola gerejawi yang selama ini dianut dengan mantap. Pola-pola lama yang berhasil dimasa lampau belum tentu relevan dimasa sekarang ini. Gereja perlu menata ulang kembali strategi pelayanannya untuk menjawab kebutuhan jemaat, sesuai dengan tantangan-tantangan zaman yang sedang dihadapi jemaat. melalui tulisan ini penulis memberikan saran-saran praktis bagi gereja antara lain:

1. gereja perlu secara seimbang membawa jemaat kepada pengertian yang benar tentang kekristenan sekaligus membawa jemaat kedalamm pengalaman rohani yang sejati.

2. karena komunitas begitu penting bagi orang-orang postmodern, gereja perlu membentuk komunitas-komunitas kristiani yang kuat, dan suasana gereja hendaknya di buat sedemikina rupa, sehingga gereja serasa rumah kedua bagi jemaat.

3. kehausan relasi yang dialami masyarakat postmodern ini perlu dijawab gereja, dengan menunjukkan bahwa Yesus lah yang mampu memuaskan kehausan mereka. Disamping itu gereja juga perlu memobilisasi kebersamaan jemaat dengan acara-acara yang mampu mengakrabkan antar jemaat.

4. masyarakat postmodern menolak metanarasi (kisah siapa) dan beralih mere-narasi (siapa yang mengkisahkan) oleh karena itu kepentingan keteladanan hidup di zaman ini sangat besar. Orang melihat kebenaran kekristenan bukan lagi terletak pada pemahaman terhadap doktrin kristen melainkan melihat cara hidup kekristenan. Oleh karena itu tidak heran jika Eropa sekarang sedang dalam perjalanan beralih dari kekristenan keagama-agama Asia (Islam, Hindu, Budha, Gerakan Zaman Baru) karena melihat praktik kehidupan agama-agama Asia yang tampaknya lebih bermoral ketimbang praktik hidup orang-orang Kristen di Eropa sendiri.

5. model pemerintahan gereja yang hierarkis di pikiran orang-orang postmodern merupakan batas antara rohaniwan dan jemaat, sehingga menyebabkan kekakuan relasi.



[1] Stanley J., Grenz, Yogyakarta, 2001, A Primer On Postmodern.

[2] Gruthuis hal hal 24.

[3] ibid, hal 24.

[4] Ibid hal 4

[5] Yongky Karman, Pengaruh Postmodernisme dalam Pendidikan, makalah yang disampaikan dalam retreat guru Kristen di Shekinah Village Depok, 23-25 September 2006.

[6] Stanley J. Grenz, Andi, Yogyakart, 2001 A Primer On Postmodrenism hal 14

[7] ibid hal 17

[8] ibid hal 17

[9] Harry Balmires, Momentum, Surabaya, 2003, The Post Christian Mind.

[10] Paul Hidayat, Zaman Postmodernisme. Makalah dalam seminar guru yang high impact, sekhinah Vilage Depok,23-25 September 2006

[11] op cit, Gernz hal 16

TIPE MANUSIA

TIPE-TIPE MANUSIA DALAM PENDIDIKAN

Setiap manusia memiliki response yang berbeda-beda dalam setiap mendapat informasi dari luar, lebih-lebih lagi informasi yang bersifat persuasive terhadap dirinya. Pendidikan adalah upaya merubah manusia memberikan informasi yang bersifat persuasive, dengan berbagai metode yang memungkinkan agar manusia mengalami perubahan. Dari tipe-tipe response itu dapat digolongkan-golongkan untuk mempermudah analisa metode seperti apa yang tepat bagi perkembangan individu.

1. Tipe Angin.

Tipe angin adalah seperti karakter angin, tidak bisa dibentuk. Tetapi selalu mengalir ketempat yang lebih panas. Oleh karena itu manusia tipe ini tidak bisa di didik dengan diberi komando, diperintah, diatur sedemikian rupa. Cukup dia diberi tantangan, maka ia akan mencoba belajar sendiri, karena merasa tertantang. Tipe ini perlu diberi fasilitas dan situasi yang menantang, maka ia akan mengembangkan dirinya, dan mencapai keberhasilan lebih besar dari pada ia di arahkan, di ajar, diatur. Banyak orang yang sukses tanpa melalui pendidikan formal, bahkan mungkin dia orang yang berhenti sekolah, karena dirasanya ia terlalu ditekan atau dikekang oleh aturan-aturan sekolah. Tipe seperti ini jika dipaksa memasuki sekolah yang formal malah tidak akan menghasilkan kemampuan yang besar, karena ia akan memberontak dari aturan sekolah formal. Jika toh ia mengikuti aturan yang ada, maka ia akan melaksanakan dengan setengah hati, sehingga hasilnya tidak maksimal. Tipe manusia seperti ini memerlukan pendekatan filsafat pendidikan humanisme dan dalam suasana non formal agar bisa berkembang, seperti deskoling.

2. Tipe Tanah.

Tanah agar memberi hasil yang baik perlu diolah, diberi benih-benih yang baik, dirawat, dijaga dengan baik. Mendidik orang dengan tipe-tipe seperti ini tidak bisa guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator saja. Agar pebelajar dengan tipe ini dapat berkembang baik, perlu diolah, diatur, diarahkan, diperhatikan, diberi pengetahuan-pengetahuan tertentu yang sudah dipikirkan oleh pendidik. Ia tidak bisa hanya dengan diberi arahan-arahan, disuruh mencari sendiri sumber-sumber pengetahuan, kemudian memaknainya. Ia hanya bisa menerima apa yang diberikan oleh pendidiknya. Tipe ini tidak bisa dididik dengan menggunakan pendekatan konstruksionisme, tetapi behaviorisme.

3. Tipe Api.

Api tidak bisa ada dengan sendirinya. Ia membutuhkan orang yang menyalakannya. Ia perlu bahan bakar. Ia perlu oksigen. Orang dengan tipe ini perlu mendapat dorongan yang kuat agar bisa berubah dan bertumbuh. Ia mau belajar jika ia terus menerus didorong. Dorongan yang berlebihan akan mematikan api, tetapi jika kurangnya dorongan, api tidak akan menyala. Ia juga perlu diberi fasilitas sebagai bahan bakar agar bisa terus menyala. Tipe Api juga tidak bisa diatur dengan ketat, ia hanya bisa didorong dan diarahkan. Ia akan mencari bentuknya sendiri. Pendekatan konstruksionisme dapat digunakan untuk tipe ini. Pendekatan hukuman dan penghargaan tidak bisa digunakan dalam tipe ini.

4. Tipe Logam.

Untuk membentuk logam, ia harus dipanaskan agar bisa ditempa, atau dipanaskan sampai mencair, kemudian kemudian baru bisa dibentuk. Dorongan tidak akan membawa ia dalam perubahan tingkah laku. Pendekatan yang tepat untuk manusia ini adalah pendekatan punishment and reward. Filsafat yang tepat digunakan adalah behaviorisme untuk membentuk manusia tipe ini.

5. Tipe Kayu/pohon.

Pohon akan mencari bentuknya sendiri jika diberi perawatan, dan pemeliharaan yang tepat. Pohon juga bisa dibentuk. Manusia tipe ini, sangat fleksibel. Ia bisa bertumbuh baik jika diberi perawatan yang memadai dan asupan yang seimbang. Tetapi juga bisa jika masuk dalam situasi yang penuh dengan aturan, formal, dan penuh dengan arahan. Hanya saja biasanya tipe ini berkembangnya sangat terbatas jika media tempatnya berada tidak sesuai dengan karakteristiknya. Semua jenis pendekatan perlu digunakan agar ia bertumbuh secara maksimal.

6. Tipe Air.

Air selalu mengalir kearah yang lebih rendah. Ia akan berubah menjadi seperti benda yang mewadahinya. Air tidak bisa digengam erat, tetapi bisa ditampung. Manusia dengan tipe air tidak bisa dididik dengan aturan dengan ketat. Sebaliknya manusia tipe ini hanya perlu dibawa kedalam sebuah situasi atau keadaan yang memungkinkan ia menjadi bertumbuh. Lingkungan yang baik akan sangat menolong manusia tipe air bertumbuh menjadi seperti lingkungannya. Sebaliknya lingkungan yang kurang baik menyebabkan ia mudah menjadi seperti lingkungannya yang tidak baik. Orang dengan tipe air tidak bisa diberi tantangan, akan menyebabkan ia mendidih dan menguap. Juga tidak bisa tanpa tantangan, ia akan membeku. Ia perlu suasana yang kondusif, nyaman, sedang-sedang saja.

Ke-enam tipe ini perlu diperhatikan dalam metode mendidik setiap individu. Filsafat pendidikan yang sesuai bagi seseorang belum tentu tepat dan berhasil untuk mendidik orang lain. Tulisan ini bermaksud memberi masukan untuk pengembangan teori-teori pendidikan yang sekarang mengarah kepada pendidikan yang konstrutif, dan cenderung menolak behavioristik, tetapi sesungguhnya baik konstruktionisme maupun behaviorisme sama-sama bisa digunakan sesuai dengan tip

Pusat Pendidikan

PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA ALLAH

Banyak teori pendidikan yang saat ini digunakan oleh sekolah-sekolah, maupun gereja-gereja. Namun tidak semua teori itu baik dalam pengertian sesuai dengan pandangan Alkitab sebagai landasan pelaksanaan PAK.

1. Pendidikan yang berpusat pada guru.

Disebut dengan Teacher Center Learning. teori ini adalah teori pendidikan tradisional, dimana guru dianggap sebagai sumber pengetahuan. Peserta didik hanya menerima apa saja yang diajarkan oleh gurunya. Teori ini sekarang dianggap usang, dan dianggap tidak lagi relevan, karena menghasilkan peniru-peniru yang tidak mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang relevan bagi masa depannya. Biasanya pada masa ini budaya berjalan stabil, kokoh, tanpa perkembangan yang mencolok, dan tanpa gejolak yang berarti dalam perkembangan budaya. Perkembangan budaya berjalan secara kondusif.

Teori ini mempersempit kontribusi peserta didik, dan membatasi hak-hak siswa. Pemikiran-pemikiran baru apalagi yang dianggap pemikiran yang tidak sesuai dengan pakem dan dianggap membahayakan budaya, agama, atau kekuasaan ditolak atau dihancurkan. Kelebihan teori ini adalah pemikiran-pemikiran yang bersifat destruktif bisa diminimalisir oleh karena pengetahuan telah dibingkai dalam pengetahuan guru. Kekurangannya, menjadikan siswa sebagai peniru yang tidak akan mampu mengembangkan pemikiran yang lebih relevan bagi permasalahan kehidupan.

Teori ini relevan di era tradisional, zaman dimana budaya perlu berjalan dengan stabil, oleh karena kepastian hokum yang belum matang, serta pengetahuan yang berkembang belum terlalu komplek seperti sekarang.

2. Pendidikan yang berpusat pada anak.

Teori yang berkembang sekarang ini adalah pendidikan yang berpusat kepada anak sering disebut dengan Student Center Learning. Guru bukan sebagai sumber utama ilmu pengetahuan, tetapi hanya fasilitator, motivator yang merekayasa terjadinya pembelajaran. Guru mengatur sedemikian rupa agar siswa dapat menemukan sumber-sumber pengetahuan, dan memilih pengetahuan yang relevan sesuai dengan minat dan bakatnya. Guru bukan penentu kebenaran bagi siswa, tetapi siswalah yang perlu memaknai kebenaran itu sendiri.

Teori ini mempersempit kontribusi guru, dan mengurangi hak-hak guru. Siswa diupayakan senyaman mungkin dapat belajar. Siswa tidak boleh mengenal arti kata kegagalan. Pendek kata teori ini mengupayakan sebuah system pendidikan tanpa “kegagalan”. Yang terpenting dalam pengetahuan bukan benar salahnya jawaban, tetapi pemaknaan pengetahuan itu.

Kelebihan teori ini, siswa dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran baru, dan memaknai pengetahuan yang didapatnya, serta memilih pengetahuan-pengetahuan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Siswa bukan hanya belajar tentang pengetahuan dari gurunya, tetapi memaknai pengetahuan jauh lebih penting, karena bisa jadi pengetahuan yang sekarang dianggap terbaik, dan mutakhir, bisa jadi di masa kehidupan mendatang sudah dianggap usang dan tidak relevan lagi. Dengan kemampuan memaknai pengetahuan siswa akan mampu mengembangkan (meng-up grade) pengetahuannya yang relevan bagi zamannya. yang Kekurangan teori ini, menjadikan apa yang dipelajari siswa kurang terkontrol dengan baik oleh guru. Hal ini menjadi berbahaya jika siswa memaknai dan menggunakan pengetahuan itu secara negative.

Teori ini lebih relevan dalam dunia pendidikan masa sekarang. Karena perkembangan pengetahuan yang begitu komplek dan membutuhkan spesialisasi agar mempu menjadi ahli di bidangnya. Selain itu, budaya dan pengetahuan berjalan (berubah) dengan sangat cepat sehingga apa yang diketahui guru dimasa sekarang bisa jadi tidak lagi relevan dimasa yang akan datang. Adalah tidak bijak memaksa siswa mempelajari sesuatu yang sesungguhnya tidak relevan bagi siswa itu ditinjau dari segi minat dan bakatnya.

Teori pertama dan kedua menjadikan manusia sebagai pusat, central dalam pendidikan.

3. Pendidikan yang berpusat pada alam.

Pendidikan masyarakat pedalaman atau pra modern, biasanya pendidikan yang berpusat pada alam. Focus pendidikan adalah bagaimana peserta didik dapat hidup survive di alam dan dapat harmonis dengan alam, dan unsure-unsur yang dianggap sebagai kuasa dibalik alam. Kemarahan alam menyebabkan kehidupan mereka menjadi kehilangan kebahagiaan, sukacita, karena ada bencana alam. Merusak alam sama dengan menyakiti dewa, sehingga mereka marah dan menimpakan tulah. Jadi pendidikan ini mengupayakan agar dewa-dewa jangan sampai marah, atau tepatnya alam jangan sampai marah sehingga menggunakan symbol dewa-dewa agar terjadi ketaatan.

Pada masa sekarang, model pendidikan ini mulai dilirik, dengan dipadukan dengan metode yang modern.

4. Pendidikan yang berpusat pada Allah.

Alkitab menjelaskan bahwa pusat pendidikan adalah Allah. Pendidikan dalam bidang studi apapun bermuara pada pengagungan Allah. Pendidikan yang berpusat pada Allah meyakini bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah Allah. Pendidikan yang berpusat kepada Allah justru memanusiakan manusia yang sesungguhnya. Pendidikan yang berpusat pada Allah menempatkan dalam posisi seimbang kontribusi guru maupun peserta didik. Hal ini dikarenakan baik guru maupun perserta didik berada pada posisi yang harus bertanggung jawab kepada Allah, dan sama sama belajar untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Allah.

Pendidikan yang berpusat pada Allah menyangkut tujuan pendidikan, motivasi pendidikan, strategi pendidikan, kurikulum pendidikan adalah Allah. Out put pendidikan adalah pengagungan kepada Allah. Tujuan pendidikan adalah visi pendidikan. Visi pendidikan yang berpusat kepada Allah adalah visi yang selaras dengan firman Allah, membawa pengenalan manusia akan Allah. Motivasi pendidikan adalah memuliakan Allah dan memenuhi panggilan Allah. Adanya motivasi ini dikarenakan pendidikan harus diperntanggungjawabkan kepada Allah. Misi pendidikan tertuang dalam kurikulum dan dilaksanakan dalam strategi pendidikan. Misi adalah tindakan untuk meraih visi. Oleh karena itu dalam kurikulum maupun strategi pendidikan dirancang untuk memenuhi target visi. Seringkali kegagalan pendidikan Kristen adalah kegagalannya mengintegrasikan visi kedalam kurikulum dan strategi pendidikan. Bisa dikatakan antara visi dengan misi tidak berkorelasi secara signifikan. Peryataan visi misi hanyalah pelengkap dalam anggaran dasar dan statute, tetapi tidak dijabarkan dalam pelaksanaan pendidikan.

Secara umum dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Hanya Allah yang sanggup memanusiakan manusia. Oleh karena itu pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang berpusat pada Allah. Filsafat-filsafat pendidikan,

Pendidikan yang berpusat pada guru tidak bisa digunakan sebagai dasar PAK. Sebab PAK membutuhkan dasar yang tidak tergoncangkan dan berubah oleh zaman. Guru tidak memenuhi syarat sebagai penentu arah pendidikan. Pendidikan yang berpusat pada siswa juga tidak memenuhi syarat sebagai dasar PAK, sebab anak justru memerlukan pendidikan agar dapat menentukan arah hidupnya secara benar, karena itu jika anak sebagai pusat pendidikan, maka arah pendidikan akan ditentukan anak. Anak juga bukan merupakan dasar yang tidak tergoncangkan, maka tidak memenuhi syarat sebagai pusat pendidikan PAK. Pendidikan yang berpusat kepada alam juga tidak memenuhi syarat sebagai dasar pendekatan PAK, karena alam juga terboncangkan. Pernyataan Allah lewat Alam sudah rusak sehingga tidak mampu memperkenalkan Allah yang sejati.

Satu-satunya pendekatan yang layak digunakan dan memadai sebagai landasan pelaksanaan PAK adalah pendidikan yang berpusat pada Allah. Pendidikan yang berpusat pada Allah memuat konsekwensi visi, kurikulum , strategi, dan proses pendidikan diukur dan dilaksanakan dari sudut pandang Allah, bukan guru, anak, ataupun alam. Pendekatan Pendidikan yang berpusatkan pada Allah bukan berarti menolak keterlibatan guru, anak ataupun alam, tetapi ketiga pendekatan lain tersebut digunakan dibawah terang sabda Allah.

Selasa, 31 Maret 2009

FILSAFAT PENDIDIKAN REALISME

Oleh : Pujiono, A.Md., S.Th.

BAB I

PENDAHULUAN

Secara etilomogis filsafat berasal dari kata ”Philos” yang artinya love (cinta) dan ”Sophia” yang artinya wisdom (kebijaksanaan, kearifan). Jadi filsafat dapat diartikan cinta secara mendalam terhadap kebijaksanaan, cinta akan kearifan. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang berusaha untuk mencapai kebijaksanaan dan kearifan. Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir yang memiliki tiga ciri, yaitu radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung), sistematis (berpikir logis), dan universal (berpikir secara menyeluruh). 1

Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipahami seluruhnya, tanpa memahami tujuan akhir, yang bersumber kepada tujuan serta pandangan hidup manusia. Konsep tentang dunia pandangan dan tujuan hidup, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan.

Pendekatan mengenai apa dan bagaimana filsafat pendidikan, dapat dilakukan melalui beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama mengatakan bahwa filsafat pendidikan dapat tersusun karena adanya hubungan linier antara filsafat dan pendidikan. Sebagai contoh; sejumlah aliran filsafat dapat dihubungkan sedemikian rupa menjadi filsafat pendidikan. Idealisme dan pendidikan menjadi filsafat pendidikan idealisme, demikain juga realisme menjadi filsafat pendidikan realisme, dan seterusnya.

Pengetahuan yang didasarkan atas persepsi memunculkan pertanyaan dasar, apakah hal yang kita ketahui mempertahankan keberadaan dan karakternya sendiri tanpa terpengaruh oleh kita yang mengetahui atau dengan kata lain apa yang kita ketahui ketika kita mengetahui? Ada tiga pandangan tentang sifat dan kemandirian dunia materiil dan orang yang ingin mengetahuinya yaitu realisme, dualisme, dan idealisme. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pandangan realisme.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG REALISME

  1. Pengertian Realisme

Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh, nyata benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Karena itu, realisme berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.

Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap pancaindra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada. Contoh : Batu yang tersandung di jalan yang baru dialami memang ada. Bunga mawar yang bau harumnya merangsang hidung sungguh-sungguh nyata ada bertengger pada ranting pohonnya di taman bunga. Kucing yang dilihat mencuri lauk di atas meja makan betul-betul ada dan hidup dalam rumah keluarga itu.

Adanya benda tetumbuhan, makhluk hidup, dan manusia itu lengkap. Mereka tidak hanya ada dalam bayangan dan budi sebagai esensia atau hakikat yang abstrak, tetapi lengkap dengan eksistensia atau keberadaan mereka masing-masing. Contoh : Batu yang tersandung waktu orang melintas di jalan bukan hanya bayangan dan konsep ”kebatuan”, tetapi memang ada, dapat disentuh, menyembul keluar di badan jalan. Kucing yang mencuri lauk bukan hanya bayangan dan konsep ”kekucingan”, tetapi betul-betul ada dan bila dipegang memang mencakar.

Jadi, yang ada dan dialami oleh pancaindra dan dimengerti oleh budi itu tak dapat diragukan memang ada; dengan lingkup dan esensia dan eksistensianya, dengan hakikat dan keberadaannya, dan merupakan makhluk yang ada dan hidup. Karena hanya bila berupa bayangan, konsep, esensianya saja, bagaimana batu dapat disandungi, bunga mawar dapat dicium baunya, kucing dapat kelihatan waktu mencuri lauk?

Realisme mengakui dan menerima kesatuan antara esensia dan eksistensia, hakikat dan keberadaan objek yang ditangkap pancaindra dan dimengerti oleh budi. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.2

  1. Bentuk-Bentuk Realisme

Ada setidaknya dua bentuk realisme yang jelas dan berarti yang memerlukan perhatian individu, yaitu realisme ekstrem/primitif dan realisme akal sehat.

  1. Realisme ekstrem/primitif

Cara paling alamiah dan sederhana untuk menginterprestasikan hubungan antara subyek dan obyek adalah dengan memahami setiap obyek yang dialami sebagai tidak dipengaruhi pengamat manapun. Penganut realisme akan mengatakan bahwa sebagaimana kaki Anda dapat berada di bawah meja dan keberadaannya tidak tergantung pada hubungan antara meja dan kaki, begitu juga obyek apapun dapat Anda (sebagai subyek) ketahui tanpa dipengaruhi oleh Anda. Pendapat ini adalah pandangan yang tanpa dipikir dari orang biasa di jalanan. Umumnya orang mulai mempertanyakan pendapat ini hanya sesudah orang mengenal beberapa masalah filosofis.3

Realisme ekstrem, yang berpendapat bahwa abstraksi itu ada sebagai entitas riil dalam dimensi lain realitas dan bahwa konkret yang kita persepsi hanyalah merupakan cerminan yang tidak sempurna, namun konkret tersebut menyebabkan timbulnya abstraksi dalam pikiran kita.

Mazhab realisme ekstrem, pada hakikatnya, berusaha untuk memelihara keunggulan eksistensi (realitas) dengan melepaskan kesadaran yaitu dengan memasukan konsep ke dalam yang ada konkret dan mereduksi kesadaran pada tingkat perseptual, yaitu pada fungsi otomatis pemahaman persep (dengan sarana adikodrati, karena persep seperti itu tidak ada).4

Kelemahan realisme ekstrem adalah ada pengalaman universal kekeliruan menilai persepsi; tidak ada penjelasan mengenai objek khayalan/halusinasi; semua persepsi tergantung konteks visual.

  1. Realisme akal sehat

Pada awalnya, realisme akal sehat tampaknya memperlunak masalah-masalah realisme ekstrem, tetapi menghindari kepalsuan yang segera dirasakan orang dengan adanya dualisme dan idealisme. Realisme akal sehat sepakat dengan realisme ekstrem atau primitif bahwa obyek-obyek fisik tidak bergantung pada pikiran atau berada di luar pikiran, walaupun obyek-obyek itu secara langsung dan seketika dapat diobservasi oleh pikiran. Hal yang membedakan dua pandangan ini adalah pemahaman realisme akal sehat tentang obyek yang tidak nyata, yang khayalan atau yang merupakan halusinasi. Persepsi semacam ini bersifat subyektif, dan obyek-obyeknya seluruhnya terdapat di dalam pikiran.

Realisme akal sehat memiliki kelebihan dalam mengatasi kritik kedua yang diajukan terhadap realisme ekstrem atau primitif. Menurut realisme akal sehat, obyek yang khalayan tidak berdiri sendiri dan berada di luar pikiran, tetapi dalam beberapa hal merupakan produk pikiran.


BAB III

FILSAFAT PENDIDIKAN

MENURUT PANDANGAN REALISME


A. Dasar Pemikiran Pendidikan Realisme

Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat kenyataan itu berada pada ”hal” atau ”benda”. Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik.5

B. Prinsip-Prinsip Pendidikan Realisme

Para pengikut realisme ada kesepakatan tentang prinsip dasar yang berhubungan dengan pendidikan. Beberapa prinsip dasar pendidikan realisme adalah sebagai berikut :

    1. Belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya.

    2. Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak.

    3. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek mater yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Secara luas lingkungan materiil dan sosial, manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.

Tinjauan mengenai filsafat pendidikan realisme menurut aspek ontologi menunjukkan bahwa pendidikan itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh tanpa tereduksi. Jadi, peserta didik adalah individu yang perlu menjadi sasaran untuk dipelajari apa adanya. Dalam hubungan ini adanya ilmu-ilmu bantu yang termasuk ke dalam lingkungan sosiologi, budaya, dan sebagainya, perlu mendapat perhatian sebagai landasan pendidikan. Selanjutnya masih perlu diadakan pengujian dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu tersebut.

Pembahasan dapat diteruskan dengan mengetengahkan epistemologi menurut filsafat pendidikan realisme. Pengetahuan, menurut realisme adalah hasil yang dicapai oleh proses dimana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia dalam ”menyerap” objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan produk dari seberapa jauh pendidikan dapat mempelajari secara ilmiah empirik mengenai peserta didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.

Dalam hal aksiologi pendidikan, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai. Misalnya, bila pendidik memperkenalkan tentang sesuatu yang baik atau buruk maka persepsi dan apersepsi yang timbul pada peserta didik perlu dicatat untuk digunakan sebagai dasar penyelenggaraan proses pendidikan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pendidikan itu pada hakikatnya berlangsung secara alami.6


BAB IV

PENUTUP

Realisme menetapkan bahwa kita langsung berhubungan dengan suatu dunia yang berada di luar, bersifat materiil, dan mandiri. Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.

Teori realisme mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut relisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.7

Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.


1 Drs. H. Burhanuddin Salam, Pengantar Pedagogik, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), hal. 33

2 A. Mangun Hardjana, Isme-Isme dalam Etika A-Z, (Yogyakarta:Kanisius, 1997), hal. 195-96,

3 Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat Dari Perspektif Kristiani, (Malang: Gandum Mas, 2002), hal. 141-142

4Ayn Rand, Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 78

5 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 15


6 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 17-18

7 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), cet.1, hal. 38