Selasa, 31 Maret 2009

FILSAFAT PENDIDIKAN REALISME

Oleh : Pujiono, A.Md., S.Th.

BAB I

PENDAHULUAN

Secara etilomogis filsafat berasal dari kata ”Philos” yang artinya love (cinta) dan ”Sophia” yang artinya wisdom (kebijaksanaan, kearifan). Jadi filsafat dapat diartikan cinta secara mendalam terhadap kebijaksanaan, cinta akan kearifan. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang berusaha untuk mencapai kebijaksanaan dan kearifan. Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir yang memiliki tiga ciri, yaitu radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung), sistematis (berpikir logis), dan universal (berpikir secara menyeluruh). 1

Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipahami seluruhnya, tanpa memahami tujuan akhir, yang bersumber kepada tujuan serta pandangan hidup manusia. Konsep tentang dunia pandangan dan tujuan hidup, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan.

Pendekatan mengenai apa dan bagaimana filsafat pendidikan, dapat dilakukan melalui beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama mengatakan bahwa filsafat pendidikan dapat tersusun karena adanya hubungan linier antara filsafat dan pendidikan. Sebagai contoh; sejumlah aliran filsafat dapat dihubungkan sedemikian rupa menjadi filsafat pendidikan. Idealisme dan pendidikan menjadi filsafat pendidikan idealisme, demikain juga realisme menjadi filsafat pendidikan realisme, dan seterusnya.

Pengetahuan yang didasarkan atas persepsi memunculkan pertanyaan dasar, apakah hal yang kita ketahui mempertahankan keberadaan dan karakternya sendiri tanpa terpengaruh oleh kita yang mengetahui atau dengan kata lain apa yang kita ketahui ketika kita mengetahui? Ada tiga pandangan tentang sifat dan kemandirian dunia materiil dan orang yang ingin mengetahuinya yaitu realisme, dualisme, dan idealisme. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pandangan realisme.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG REALISME

  1. Pengertian Realisme

Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh, nyata benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Karena itu, realisme berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.

Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap pancaindra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada. Contoh : Batu yang tersandung di jalan yang baru dialami memang ada. Bunga mawar yang bau harumnya merangsang hidung sungguh-sungguh nyata ada bertengger pada ranting pohonnya di taman bunga. Kucing yang dilihat mencuri lauk di atas meja makan betul-betul ada dan hidup dalam rumah keluarga itu.

Adanya benda tetumbuhan, makhluk hidup, dan manusia itu lengkap. Mereka tidak hanya ada dalam bayangan dan budi sebagai esensia atau hakikat yang abstrak, tetapi lengkap dengan eksistensia atau keberadaan mereka masing-masing. Contoh : Batu yang tersandung waktu orang melintas di jalan bukan hanya bayangan dan konsep ”kebatuan”, tetapi memang ada, dapat disentuh, menyembul keluar di badan jalan. Kucing yang mencuri lauk bukan hanya bayangan dan konsep ”kekucingan”, tetapi betul-betul ada dan bila dipegang memang mencakar.

Jadi, yang ada dan dialami oleh pancaindra dan dimengerti oleh budi itu tak dapat diragukan memang ada; dengan lingkup dan esensia dan eksistensianya, dengan hakikat dan keberadaannya, dan merupakan makhluk yang ada dan hidup. Karena hanya bila berupa bayangan, konsep, esensianya saja, bagaimana batu dapat disandungi, bunga mawar dapat dicium baunya, kucing dapat kelihatan waktu mencuri lauk?

Realisme mengakui dan menerima kesatuan antara esensia dan eksistensia, hakikat dan keberadaan objek yang ditangkap pancaindra dan dimengerti oleh budi. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.2

  1. Bentuk-Bentuk Realisme

Ada setidaknya dua bentuk realisme yang jelas dan berarti yang memerlukan perhatian individu, yaitu realisme ekstrem/primitif dan realisme akal sehat.

  1. Realisme ekstrem/primitif

Cara paling alamiah dan sederhana untuk menginterprestasikan hubungan antara subyek dan obyek adalah dengan memahami setiap obyek yang dialami sebagai tidak dipengaruhi pengamat manapun. Penganut realisme akan mengatakan bahwa sebagaimana kaki Anda dapat berada di bawah meja dan keberadaannya tidak tergantung pada hubungan antara meja dan kaki, begitu juga obyek apapun dapat Anda (sebagai subyek) ketahui tanpa dipengaruhi oleh Anda. Pendapat ini adalah pandangan yang tanpa dipikir dari orang biasa di jalanan. Umumnya orang mulai mempertanyakan pendapat ini hanya sesudah orang mengenal beberapa masalah filosofis.3

Realisme ekstrem, yang berpendapat bahwa abstraksi itu ada sebagai entitas riil dalam dimensi lain realitas dan bahwa konkret yang kita persepsi hanyalah merupakan cerminan yang tidak sempurna, namun konkret tersebut menyebabkan timbulnya abstraksi dalam pikiran kita.

Mazhab realisme ekstrem, pada hakikatnya, berusaha untuk memelihara keunggulan eksistensi (realitas) dengan melepaskan kesadaran yaitu dengan memasukan konsep ke dalam yang ada konkret dan mereduksi kesadaran pada tingkat perseptual, yaitu pada fungsi otomatis pemahaman persep (dengan sarana adikodrati, karena persep seperti itu tidak ada).4

Kelemahan realisme ekstrem adalah ada pengalaman universal kekeliruan menilai persepsi; tidak ada penjelasan mengenai objek khayalan/halusinasi; semua persepsi tergantung konteks visual.

  1. Realisme akal sehat

Pada awalnya, realisme akal sehat tampaknya memperlunak masalah-masalah realisme ekstrem, tetapi menghindari kepalsuan yang segera dirasakan orang dengan adanya dualisme dan idealisme. Realisme akal sehat sepakat dengan realisme ekstrem atau primitif bahwa obyek-obyek fisik tidak bergantung pada pikiran atau berada di luar pikiran, walaupun obyek-obyek itu secara langsung dan seketika dapat diobservasi oleh pikiran. Hal yang membedakan dua pandangan ini adalah pemahaman realisme akal sehat tentang obyek yang tidak nyata, yang khayalan atau yang merupakan halusinasi. Persepsi semacam ini bersifat subyektif, dan obyek-obyeknya seluruhnya terdapat di dalam pikiran.

Realisme akal sehat memiliki kelebihan dalam mengatasi kritik kedua yang diajukan terhadap realisme ekstrem atau primitif. Menurut realisme akal sehat, obyek yang khalayan tidak berdiri sendiri dan berada di luar pikiran, tetapi dalam beberapa hal merupakan produk pikiran.


BAB III

FILSAFAT PENDIDIKAN

MENURUT PANDANGAN REALISME


A. Dasar Pemikiran Pendidikan Realisme

Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat kenyataan itu berada pada ”hal” atau ”benda”. Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik.5

B. Prinsip-Prinsip Pendidikan Realisme

Para pengikut realisme ada kesepakatan tentang prinsip dasar yang berhubungan dengan pendidikan. Beberapa prinsip dasar pendidikan realisme adalah sebagai berikut :

    1. Belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya.

    2. Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak.

    3. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek mater yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Secara luas lingkungan materiil dan sosial, manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.

Tinjauan mengenai filsafat pendidikan realisme menurut aspek ontologi menunjukkan bahwa pendidikan itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh tanpa tereduksi. Jadi, peserta didik adalah individu yang perlu menjadi sasaran untuk dipelajari apa adanya. Dalam hubungan ini adanya ilmu-ilmu bantu yang termasuk ke dalam lingkungan sosiologi, budaya, dan sebagainya, perlu mendapat perhatian sebagai landasan pendidikan. Selanjutnya masih perlu diadakan pengujian dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu tersebut.

Pembahasan dapat diteruskan dengan mengetengahkan epistemologi menurut filsafat pendidikan realisme. Pengetahuan, menurut realisme adalah hasil yang dicapai oleh proses dimana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia dalam ”menyerap” objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan produk dari seberapa jauh pendidikan dapat mempelajari secara ilmiah empirik mengenai peserta didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.

Dalam hal aksiologi pendidikan, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai. Misalnya, bila pendidik memperkenalkan tentang sesuatu yang baik atau buruk maka persepsi dan apersepsi yang timbul pada peserta didik perlu dicatat untuk digunakan sebagai dasar penyelenggaraan proses pendidikan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pendidikan itu pada hakikatnya berlangsung secara alami.6


BAB IV

PENUTUP

Realisme menetapkan bahwa kita langsung berhubungan dengan suatu dunia yang berada di luar, bersifat materiil, dan mandiri. Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.

Teori realisme mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut relisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.7

Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.


1 Drs. H. Burhanuddin Salam, Pengantar Pedagogik, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), hal. 33

2 A. Mangun Hardjana, Isme-Isme dalam Etika A-Z, (Yogyakarta:Kanisius, 1997), hal. 195-96,

3 Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat Dari Perspektif Kristiani, (Malang: Gandum Mas, 2002), hal. 141-142

4Ayn Rand, Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 78

5 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 15


6 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 17-18

7 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), cet.1, hal. 38

FILSAFAT PENDIDIKAN IDEALISME

FILSAFAT PENDIDIKAN IDEALISME

LATAR BELAKANG FILSAFAT IDEALISME

Filsafat idealisme secara umum disebut sebagai filsafat abad 19. namun sebenarnya konsep-konsep idealisme sudah ada sejak abad 4 sebelum masehi, yaitu dalam ajaran Plato. Plato memercayai bahwa segala sesuatu yang dapat diinderai adalah kenampakan semata. Realitas yang sesungguhnya adalah ide-ide, atau bentuk-bentuk asal dari kenampakan itu. Ide-ide itu merupakan dunia “universal abadi” yang tidak berubah. Apa yang nampak hanyalah refleksi atau bayangan dari konsep-konsep yang ada dalam dunia “universal abadi,” maka selalu berubah. Pandangan ini dimulai dari perenungan akan nilai-nilai dari kenampakan yang ada di dunia ini. Plato menyimpulkan bahwa ada nilai dibalik kenampakkan itu, maka tentu yang memberi nilai jauh lebih penting dari pada kenampakkan itu sendiri. Dan ternyata yang memberi nilai atas kenampakkan itu adalah sesuatu yang metafisik, yang tidak nampak, tetapi terus eksis, yaitu ide-ide.

Pada abad 19 pandangan ini kembali mendapat tempat dalam percaturan pemikiran. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh adalah Hegel. Hegel mengatakan bahwa realitas yang sesungguhnya adalah Jiwa. Jiwa itulah inti dari keberadaan dunia ini. Jiwa mengambil bentuk objektif tertentu sehingga dapat di inderai dengan perantaraan dialektika. Sejarah, alam, pikiran manusia ini adalah refleksi dari Jiwa. Ini berarti Hegel berada pada posisi Idealisme Subjektif/absolut. Disamping idealisme absolut terdapat idealisme objektif. Idealisme objektif menganggap bahwa realitas yang sesungguhnya adalah ide-ide atau gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran manusia. Pikiran manusia menjadi penentu sebuah kebenaran. Segala sesuatu yang dapat di dinderai ini pada dasarnya hanyalah persepsi atau sensasi fisik saja, karena indera tidak mampu secara lengkap mampu memahami seluruh realitas.

Jadi secara umum idealisme adalah pandangan yang menganggap hal yang terpenting adalah dunia ide-ide, sebab realitas yang sesungguhnya adalah dunia ide-ide tersebut. Ide-ide tersebut bisa berupa pikiran-pikiran manusia rasional, bisa juga berupa gagasan-gagasan kesempurnaan, seperti Tuhan, dan Moral tertinggi (Summum Bonnum). Apa yang bisa diindera ini hanyalah bayangan atau imitasi dari ide-ide itu. Oleh karena itu dunia yang dapat di indera ini bersifat tidak tetap.

Beranjak dari hal tersebut di atas, maka sejarah, alam, pikiran manusia itu bisa menjadi bernilai atau memiliki makna oleh karena adanya ide dibalik kenampakan. Pada awalnya gereja abad 19 menyambut dengan gembira konsep idealisme ini, karena bagi mereka konsep ini memberikan jawaban rasional atas kritikan materialisme dan sekulerisme. Cara untuk bisa mengetahui kebenaran ini menurut filsuf idealisme adalah intuisi, pernyataan atau wahyu, dan rasio. Hal ini berarti menunjukkan bahwa kritikan beberapa tokoh materialisme yang mengatakan bahwa idealisme pada hakikatnya mengorbankan rasio, atau tidak masuk akal, tidak berdasar.

Ontologi Idealisme

Brown menyebutkan idealisme dalam arti luas menunjukkan bahwa hal-hal rohani lebih penting dari pada hal-hal yang bersifat materi. Berarti Brown menyoroti dari sudut pandang idealisme subjektif. Sedangkan secara umum idealisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa realitas yang sesungguhnya adalah ide-ide atau gagasan-gagasan. Dunia yang dapat di inderai ini sesungguhnya hanyalah persepsi atau sensasi fisik saja, karena indera tidak lengkap dan tidak bisa dipercayai. Sesungguhnya realitas yang sejati adalah ide-ide itu sendiri. Selain itu idealisme juga memercayai bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini memiliki makna, dan makna itu tidak didapat dari apa yang dapat diindera melainkan dari perenungan pemikiran yang menimbulkan gagasan atau ide.

Jadi secara ontologis, idealisme menekankan kebenaran sebagai ide-ide atau gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran manusia.

Epistemologi Idealisme

Epistemologi membicarakan sumber kebenaran. Dalam idealisme kebenaran tidak di dapat dari pengalaman iderawi misalnya melihat, merasa, meraba, mendengar, tetapi di dapat dari ide-ide yang ada dalam pikiran. Apa yang sesungguhnya ada adalah apa yang ada dalam gagasan-gagasan pikiran manusia. Apa yang dialami manusia seperti pengalaman inderawi itu tidak penting atau tidak menentukan kebenaran, yang penting adalah gagasan-gagasan, karena ide-ide itu menentukan kebenaran. Pengalaman inderawi hanyalah sensasi yang serba tidak lengkap dan tidak layak untuk dipercayai. Oleh karena itu orang yang mampu memiliki gagasan-gagasan dianggap sebagai orang yang memiliki kebenaran-kebenaran. Semakin rasional seseorang semakin ia memiliki otoritas sebagai penentu kebenaran.

Aksiologi Idealisme

Aksiologi membahas masalah nilai. Dalam idealisme aksiologi berakar pada ontologis, karena sebenarnya idealisme lebih menekankan pada aspek ontologis atau metafisika, daripada aspek-aspek yang lain. Oleh karena secara ontologis realitas itu adalah ide-ide, maka kriteria nilai-nilai baik secara etis maupun estetis terletak bukan pada diri manusia, melainkan pada keadaan diluar manusia. Keadaaan diluar manusia itu adalah prinsip-prinsip yang kekal, dan pasti secara idealis. Secara religius itu berarti prinsip tentang pribadi yang sempurna yaitu Tuhan. Secara objektif itu berarti pikiran-pikiran yang unggul, konsep-konsep yang teruji dan tahan lama, dan telah terbukti memberi faedah bagi umat manusia. Dalam tataran praktis, ini berarti orang-orang yang berotoritas, dan unggul dalam pemikiran akan menjadi standard kebenaran suatu nilai. Jadi dalam tataran teologis, wahyu ilahi sebagai standard kebenaran, secara praktis gereja, pemimpin, atau guru yang mengajarkan. Secara umum orang-orang yang unggul dalam ide-ide atau memiliki keunggulan rasio lah yang menjadi standar atau patokan bagi sebuah kebenaran.

Filsafat Pendidikan Idealisme

Secara umum pendidikan idealisme merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kehidupan rohani yang lebih tinggi dan ideal. Rumusan ini dapat dijabarkan dalam aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

  1. Aspek Ontologis

Pendidikan yang menitikberatkan pada idealisme akan lebih banyak bergerak dalam tataran otnologis. Peserta didik perlu ditanamkan konsep bahwa mereka mahkluk spiritual dan rasional. sehingga pendidikan ini akan lebih menekankan konsep, gagasan, dan bagian-bagian keakademisan, dari pada hal-hal lain. Keberhasilan pendidikan ditinjau dari penguasaan materi secara akademis. Sedangkan dari sudut pandang religius, pendidikan bertujuan membimbing peserta didik agar berkepribadian, bermoral, dan religius. Kualitas peserta didik dilihat dari kemampuan untuk merumuskan konsep-konsep atau gagasan-gagasan dari pada hal-hal yang praktis.

  1. Aspek Epistemologis

Aspek epistemologis pendidikan idealisme mengacu pada epistemologis idealisme secara umum. Epistemologis idealisme secara umum memandang relaitas itu bukan didapat dari pengalaman inderawi melainkan dari perenungan-perenungan falsafahi. Kebenaran makna bukan didapat dari pengalaman empiris melainkan dari intuisi, pernyataan atau wahyu, dan rasio. Oleh karena itu, orang yang unggul secara rasional dianggap memiliki kebenaran-kebenaran yang tertinggi. Guru dianggap sebagai sumber kebenaran. Jawaban siswa yang tidak sesuai dengan guru akan dianggap salah. Bahkan guru juga menentukan cara untuk menemukan kebenaran itu ssendiri.

  1. Aspek Aksiologis

Nilai berada pada dataran yang tetap, kokoh, dan teruji oleh waktu. Ditetapkan oleh otoritas yang tertinggi bukan pada manusia sendiri-sendiri baik dalam etika maupun estetika. Untuk mencapai kriteria itu manusia tinggal meniru otoritas-otoritas yang dianggap memiliki kebenaran. Bisa jadi otoritas itu Tuhan, orang-orang yang unggul dalam pemikiran, pemimpin, dan lain-lain. Guru sebagai teladan dan pemilik kebenaran.

Kesimpulan.

Dari aspek-aspek ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang mendatangkan kestabilan, telah teruji waktu, tahan lama dan terseleksi. Nilai-nilai yang diterima adalah yang telah terbukti mendatangkan kebaikan pada umat manusia. Pendidikan ini akan mengutamakan kemampuan akademis yang telah baku.Kebenaran didapat manusia melalui intuisi, rasio dan wahyu, bukan dari penginderaan, sebab penginderaan hanyalah persepsi bukan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya terdapat dalam ide-ide atau gagasan.

Teori Piaget dan Kurikulum Sekolah

TEORI PIAGET SEBAGAI KRITIK TERHADAP KURIKULUM SEKOLAH

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupannya. Pertumbuhan adalah perubahan kuantitatif pada bagian materiil individu sebagai akibat adanya pengaruh lingkungan. Perubahan itu dapat berupa pembesaran, atau pertambahan dari yang tidak ada menjadi ada, dari yang kecil menjadi besar, dari yang sedikit menjadi banyak, dari yang sempit menjadi luas, dan sebagainya.[1] Sedangkan perkembangan adalah perubahan kualitatif dari fungsi-fungsi.[2] Fungsi-fungsi dalam kepribadian individu itu dibagi dalam dua macam yaitu aspek jasmaniah dan aspek kejiwaan.[3] Jadi berbicara mengenai psikologi perkembangan adalah berbicara mengenai perubahan fungsi-fungsi psikologis atau kejiwaan.

Sebelum Piaget, teori perkembangan kognitif dibagi dalam dua teori besar yaitu teori kematangan organisme dan pengaruh lingkungan.[4] Teori pengaruh lingkungan dikembangkan John Locke, seorang filsuf yang mengatakan pada dasarnya seorang anak ketika lahir seperti kertas kosong yang kemudian berkembang menjadi dewasa karena pengaruh lingkungan. Sedangkan filsuf yang mengembangkan teori kematangan organisme salah satunya adalah J., J., Rousseau yang berteori bahwa setiap anak ketika lahir sudah membawa bakat-bakat mental dan moral.

Gagasan dasar Psikologi Perkembangan Kognitif adalah pendapat yang mengatakan bahwa tingkah laku seseorang itu tidak hanya dikontrol oleh reward dan “reinforcement[5], tetapi senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku terjadi. Dalam proses ini, seseorang memperoleh insight untuk memecahkan masalah.[6] Konsep mengenai insight ini menjadi unsur yang terpenting dalam Psikologi Gestalt.[7] Semenjak dicetuskannya teori Gestalt ini psikologi perkembangan kognitif berkembang.


BAB II

DASAR TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET.

A. Aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan kognitif.

Teori perkembangan Piaget disebut Developmental Cognitive. Teori ini berbeda dengan teori kognitif gestalt. Piaget melihat ada system yang mengatur dari dalam, dari sudut biologis pada sistem kognisi, yang kemudian berkembang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Jadi tampak bahwa Piaget memadukan dua teori, yaitu teori kematangan organisme dengan teori pengaruh lingkungan. Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognisi adalah dorongan dari faktor biologis yang berkolaborasi dengan lingkungan. Perkembangan itu menurutnya melewati tahap-tahap yang menetap, meskipun secara ukuran usia, setiap tahap itu tidaklah sama persis. Fauzi mengatakan tentang teori piaget demikian:

“Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau priode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkunagn serta adanya pengorganisasian struktur berfikir.”[8]

Selanjutnya menurut Piaget ada empat aspek yang mempengaruhi perkembangan kognitif individu manusia, Singgih Gunarsa menjelaskan ke empat aspek itu adalah:

  1. Kematangan. Kematangan ini merupakan pengembangan dari susunan syaraf. Misalnya kemampuan melihat atau mendengar disebabkan oleh kematangan yang sudah dicapai oleh susunan syaraf yang bersangkutan.
  2. Pengalaman, yaitu hubungan timbale balik antara organisme dengan lingkungannya, dan dunianya.
  3. Transmisi social,yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, misalnya cara pengasuhan dan pendidikan dari orang lain yang diberikan kepada anak.
  4. Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak, agar ia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri dengan lngkungannya.[9]

B. Konsep Dasar Teori J. Piaget

Konsep dasar perlembangan kognitif piaget adalah skema dan adaptasi. Kedua istilah ini dipergunakan untuk menjelaskan adanya perkembangan pola-pola tingkah laku dalam individu. Dengan adanya kedua komponen ini artinya bahwa kognisi merupakan sistem yang selalu diorganisir dan diadaptasi. Kognisi yang telah diorganisir dan diadaptasi itu selanjutnya memungkinkan atau mempengaruhi individu beradaptasi pula dengan lingkungannya yang lain.

Skema atau struktur kognitif adalah suatu proses atau cara mengorganisir dan memberi reaksi atas berbagai pengalaman. Skema adalah suatu pola sistematis dari tindakan, sifat, pikiran, dan strategi dalam pemecahan masalah yang menjadi suatu kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai jenis situasi. Skema ini adalah bakat bawaan yang diperoleh sejak dari lahir.

Sedangkan Adaptasi atau struktur fungsional adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Piaget untuk menunjukan pola hubungan individu dengan lingkungannya. Adaptasi merupakan fungsi dari kognisi yang bersangkut paut dengan tujuan dan perjuangan hidupnya. Adaptasi dibagi dalam dua proses yang saling mengisi, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah integrasi antara elemen-elemen dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organisme.[10] Dengan skema-skema yang dimilikinya individu akan mencoba mengartikan elemen-elemen yang dari luar agar individu tersebut memperoleh pengetahuan. Misalnya sebuah boneka diletakkan di depan seorang bayi, maka dengan skema-skema yang dimilikinya, ia mencoba memahami dan mengadakan hubungan dengan objek yang di depannya itu dengan melihat, meraih, memegang, menggoyang-goyangkan, dan lain-lain. Bayi mengasimilasikan boneka tersebut dalam sistem kognisinya. Contoh lainnya adalah jika anak-anak ditunjukkan beberapa buah lingkaran bundar satu demi satu, dan diminta menyebutkannya, ia akan menyebutkan bahwa itu adalah lingkaran bundar. Lalu ketikakemudian ditunjukkan lingkaran yang berbentuk elips, ia masih menyebutkan lingkaran itu bundar. Disinilah proses asimilasi terjadi, yaitu ketika objek lingkaran itu masuk ke dalam system kognisinya diubah dan disesuaikan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya.

Akomodasi adalah perubahan struktur kognisi yang sudah ada dalam diri seseorang supaya sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari objek. Jika asimilasi objek yang berubah dalam sistem kognisi individu, maka dalam akomodasi subjek atau individu yang berubah karena menyesuaikan diri dengan rangsangan-rangsangan dari objek. Contohnya jika kemudian si anak diberitahu bahwa lingkaran itu bukan bundar melainkan elips, dan ditunjukkan perbedaannya, maka ia kemudian mengubah struktur kognisinya dan mengetahui bentuk lingkaran elips yang sebenarnya.

Pada dasarnya asimilasi dan akomodasi terjadi secara bersama-sama dan saling mengisi, setiap kali seorang anak sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan. Piaget mengatakan bahwa individu yang akan mengadakan adaptasi harus mencapai ekuilibrium yaitu keseimbangan antara aktivitas individu terhadap lingkungan dan lingkungan terhadap individu.


BAB III

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

Piaget membagi perekmbangan kognitif manusia dalam empat bagian utama, yaitu:

1. Tahap Sensori-Motor (0-2 tahun)

Masa ini dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Kemampuan individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan kemampuan dasar yang amat berarti untuk menjadi landasan tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Rentang tahap sensori-motor ini dapat dibagi-bagi lagi dalam sub-sub tahap antara lain:

  1. Modifkasi dari refleks-refleks (0-1 bulan)

Bayi sejak lahir sudah memiliki refleks misalnya mengenyot puting susu, kemudian mencengkeram sesuatu yang menyentuh tangannya. Pada mulanya gerakan-gerakan ini sangat sederhana, dan berkembang setahap demi setahap.

  1. Reaksi pengulangan pertama (1-4 bulan).

Pada masa ini, kalau bayi menggerak-gerakkan tubuhnya, dan secara tidak sengaja memperoleh kenikmatan, atau sesuatu yang menarik, maka ia akan berusaha mengulangi lagi gerakan ini.

  1. Reaksi pengulangan kedua (4-10 bulan).

Tahap ini merupakan kelanjutan dari reaksi pengulangan pertama ketika bayi-bayi menemukan objek-objek di luar dirinya yang menarik perhatiannya, dan ia ingin mengulangnya.

  1. Koordinasi reaksi-reaksi sekunder (10-12 bulan).

Tahap ini, anak mulai bisa mengkoordinasikan dua skema yang terpisah untuk memperoleh sesuatu.

  1. Reaksi pengulangan ketiga (12-18 bulan).
  2. Permulaan berpikir (18-24 bulan).

Dalam tahap sensori motor ini, sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis,[11] karena pada tahap ini anak mulai berpikir secara internal.

2. Tahap Pra Operasional (2–7 tahun)

Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang objek permanen. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ini juga ditandai oleh adanya sikap yang egosentris. Pada tahap ini anak juga mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa dengan menggunakan kata-kata yang benar, bahkan juga mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek.

Anak pada tahap ini juga sudah mampu mempergunakan simbol-simbol. Fungsi simbolik adalah kemampuan untuk mewakilkan sesuatu yang tidak ada, tidak terlihat, dengan sesuatu yang lain meskipun sangat sederhana. Misalnya mainan mobil-mobilan, pedang-pedangan, boneka, dan lain-lain.

3. Tahap konkret-operasional (7-11)

Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

4. Tahap formal-operasional (11-dewasa)

Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu : Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

BAB IV

PENGARUH TEORI PIAGET DENGAN PENDIDIKAN

Teori Piaget ini mempengaruhi dunia pendidikan. Berdasarkan penemuan ini, maka, pendidikan mesti disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan individu. Kurikulum, strategi pembelajaran, evaluasi, dan media pembelajaran, mestinya disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif anak. Sehingga pendidikan dapat berjalan efektif, menyenangkan, dan tidak merugikan secara perkembangan psikologi anak.

Curriculum--Educators must plan a developmentally appropriate curriculum that enhances their students' logical and conceptual growth.

Instruction--Teachers must emphasize the critical role that experiences--or interactions with the surrounding environment--play in student learning. For example, instructors have to take into account the role that fundamental concepts, such as the permanence of objects, play in establishing cognitive structures.” [12]

Kurikulum , strategi pendidikan, metode pembelajaran, media yang digunakan, dan jenis-jenis evaluasi yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik akan memberikan dampak pendidikan yang tuntas.

Berdasarkan teori piaget ini, guru kini bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu. Guru hanyalah motivator, fasilitator, dan manipulator pendidikan, sedangkan subjek dan objek pendidikan adalah siswa iotu sendiri.

PENUTUP

Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Piaget ini nampak jelas bahwa pendidikan di Idonesia masih jauh tertinggal. Pendidikan di Indonesia sering menyisakan trauma psikologis bagi siswanya. Belajar bukan lagi sebagai sesuatu yang menyenangkan tetapi seperti penjara bagi siswa-siswa. Terbukti banyak siswa yagn bolos dari kelas. Banyak anak menjadi minder karena guru, terluka hatinya karena guru, masih ingat dengan siswa yang bunuh diri karena tidak naik kelas beberapa waktu yang lalu?

Sayang banyak juga orang tua yang tidak memahami hal ini. Orang tua seakan-akan berlomba-lomba mencari sekolah yang memberikan pelajaran yang berat, pengetahuan yang banyak, sehingga membanggakan mereka. Tetapi sebenarnya membawa dampak kerugian secara psikologis bagi siswa.

Kita dapat temukan dimana-mana orang-orang tua berlomba-lomba memberikan les berbagai macam pelajaran kepada anak-anaknya sejak dini. Pada hal tahap perkembangan mereka adalah tahap perkembangan sensoris yang butuh banyak bermain, bergerak, bergembira. Ini berarti anak-anak melewati tahap-tahap perkembangannya. Atau pada masa konkret operasional, mereka memiliki keterbatasan berfikir yang sistematis, tetapi dijejali dengan teori-teori yang abstrak. Pelajaran bahasa asing, padahal pada usia ini anak sedang banyak mempelahari kosakata-kosakata, dan kebermaknaan kata. Penjejalan bahasa asing akan menyebabkan ketidakmampuan mereka dalam mensistematisasikan penggunaan bahasa itu secara tepat. Diwaktu mendatang perlakuan ini akan menuai badai gejolak psikologis yang besar dimasa dewasa, karena ada satu tahap perkembangan yang terlewatkan. Kemungkinan pada usia tertentu anak-anak yang diforsir belajar ini akan mengalami gangguan kejiwaan.

Demikian juga pemaksaan anak-anak SD bahkan di bawahnya untuk mempelajari bahasa asing akan menganggu kemampuan mereka mengekspresikan diri dalam bahasa dan kebermaknaan. Sebab pada masa itu mereka sedang menyerap makna berdasarkan bahasa “ibu.” Berbagai macam bahasa atau kosakata yang bermacam-macam dan pola kalimat yang bermacam-macam akan menyebabkan mereka kesulitan mencerna kebermaknaan dari bahasa tersebut, dan menimbulkan kebingungan indentitas bahasa.

Oleh karena itu segenap jajaran yang bergerak di bidang Pendidikan mesti kembali memikirkan ulang kurikulum dan strategi pembelajarannya. Jangan karena permintaan market (ambisi orang tua), dan demi persaingan bisnis sekolah, masa depan anak-anak didik yang dirugikan. Kerugian itu juga akan berpengaruh pada nasib bangsa Indonesia.


[1] M.Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) hlm., 61-62.

[2] ibid., hlm., 78.

[3] Ibid., hlm 79

[4] Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangabn Anak, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003), hlm., 136.

[5] Istilah reward dan reinforcemen ini merupakan gagasan dasar dari teori behavioristik yang sangat berhubungan dengan stimulus dan response.

[6] Insight adalah pemahaman mendadak atau seketika yang muncul akibat pengamatan terhadap hubungan-hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dalyono, op cit., hlm., 35.

[7] Psikologi Kognitif mulai berkembang setelah munculnya teori Psikologi Gestalt.

[8] Luthfi Seli Fauzi, Perkembangan Kognitif dalam Perspektif Piaget, www.luthfis.wordpress.com, 2008.

[9] Gunarsa, op cit., hlm 141.

[10] Singgih, op cit., hlm., 142

[11] Ahmad Sudrajat, Perkembangan Kognitif, www.ahmadsudrajat.wordpress.com.

[12] _______www.funderstanding.com

Sabtu, 21 Maret 2009

Tanggung Jawab PAK

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (PAK)

4 Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! 5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. 6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, 7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. 8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, 9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.

Ul 6:4-9

Di sebuah kota kecil Banyumas, beberapa Tahun lalu, ketika penulis masih melayani di sebuah gereja di Banyumas, ada seorang ibu yang anaknya aktif melayani. Ketika penulis berkunjung ke rumah mereka, ibu ini mengeluh dan memarahi anaknya dengan mengatakan: ”sia-sia kamu kegereja, aktif kegereja, tetapi kelakuamu tidk baik di rumah. Apa saja sih yang dikerjakan digereja? Kok anak saya tidak ada perubahan! Apa saja sih yang dibuat para pelayannya?”

Pengalaman seperti tersebut di atas, bukan pengalaman baru bagi para hamba Tuhan, atau guru-guru agama. Para orang tua biasanya dengan mudah melemparkan tanggung jawab Pendidikan Agama Kristennya kepada guru agama atau gereja. Jika kemudian anaknya bertumbuh menjadi anak yang nakal, tidak beriman, yang dipersalahkan adalah guru agama, atau guru sekolah minggu. Melempar tanggung jawab ini adalah sikap yang tidak benar, sesuai dengan firman Tuhan, sebab tanggung jawab sesungguhnya ada pada mereka.

Ayat di atas ini merupakan ayat yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan gereja. Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen terletak dalam keluarga, yaitu orang tua. Gereja maupun sekolah (guru agama) tidak bertujuan mengambil alih tanggung jawab ini, tetapi membantu dan memfasilitasi keluarga agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya, dengan mendorong, memperlengkapi, merekayasa situasi demi terlaksananya tugas ini.

Jika banyak orang tua yang tidak melaksanakan tanggung jawab ini, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkannya:

  1. Orang tua tidak mengerti bahwa tanggung jawab pendidikan agama Kristen adalah tanggung jawabnya.
  2. orang tua tidak mengerti caranya melaksanakan tugasnya, meskipun dia ingin.
  3. gereja tidak mengajarkan secara benar tugas tanggung jawab ini, kepada para orang tua.
  4. gereja tidak memperlengkapi para orang tua agar dapat melaksanakan tugas ini.

Alasan-alasan lain mungkin ada, tetapi alasan-alasan ini merupakan sebagian besar penyebab tidak dilaksanakannya PAK dalam keluarga.

Tanggung jawab gereja dan guru-guru agama dalam hal ini bukan mengambil alih tugas tanggung jawab tersebut. Jika orang tua tidak tahu caranya bagaimana melaksanakan PAK dalam keluarga maka gereja perlu melengkapi para orang tua agar melaksanakan PAK dalam keluarga. Jika orang tua tidak memiliki pengertian atau kesadaran mengenai pentingnya PAK dalam keluarga, maka gereja perlu mendorong, memberi pengertian, mengajar para orang tua agar melaksanakan tugas tanggung jawab ini.

Berdasarkan ayat di atas, maka pihak yang pertama kali di tuntut Tuhan jika ada generasi muda melenceng dari iman karena tidak mendapatkan pelayanan PAK adalah para orang tua. Tetapi jika para orang tua tidak melaksanakan PAK dalam keluarga, pihak yang dituntut Tuhan adalah gereja, guru-guru sekolah minggu, guru-guru agama.

Rabu, 18 Maret 2009

PENDIDIKAN MENURUT UNESCO

pendidikan menurut Unesco mencakup empat hal yaitu:
  1. LEARNING TO KNOW
  2. LEARNInG TO DO
  3. LEARNING TO BE
  4. LEARNING TO LIFE TOGETHER

TUJUAN TERTINGGI PAK

  1. PERTOBATAN
  2. PERTUMBUHAN ROHANI
  3. PEMURIDAN
  4. PEMBENTUKAN SPIRITUALITAS
  5. KEDEWASAAN IMAN