Kamis, 25 Maret 2010

Aktivasi Otak Tengah

Akhir-akhir ini marak dengan kegiatan untuk mengaktifkan otak tengah. Hal ini di dasari pemikiran bahwa otak tengah manusia selama ini tidak aktif maka perlu diaktifasi. Orang-orang yang mampu mengaktifasi otak tengahnya akan memiliki kecerdasan dan moral yang lebih baik, karena terjadi keseimbangan antara otak kanan dan otak kiri. Dampaknya adalah seseorang mampu melihat dengan mata tertutup. Membaca buku tanpa perlu membuka buku, dan memprediksi peristiwa yang akan terjadi. Tetapi apakah dasar pemikiran ini benar?
Saya bukan seorang ahli dalam bidang neurology, dan juga bukan ahli dalam bidang psikology. Namun saya mencoba berpikir kritis dan rasional. Saya coba menggali seputar informasi mengenai otak tengah.
Struktur otak manusia adalah Pertama adalah cerebral cortex fungsinya adalah Pemikiran, Gerakan Sukarela, Bahasa, Penalaran, Persepsi. Kedua adalah cerebellum disebut juga fungsinya adalah gerakan, keseimbangan, postur. Ketiga adalah batang otak. Fungsinya adalah pernafasan, detak jantung dan tekanan darah. Keempat adalah Hipotalamus yang sebesar kacang berfungsi untuk mengatur suhu tubuh, emosi, kelaparan, haus circadian Rhythms. Kelima adalah thalamus yang berfungsi sebagai sensor pengolahan, dan gerak. Keenam adalah daerah limbic. Daerah ini berfungsi untuk mengatur emosi, dan memori. Ketujuh adalah hippocampus yang berfungsi untuk belajar dan memori. Kedelapan adalah bangsal ganlia yang berfungsi untuk koordinasi gerakan. Dan yang kesembilan adalah midbrain atau otak tengah fungsinya adalah mencakup penglihatan, pendengaran, gerakan mata, dan gerakan tubuh.
Berarti fungsi otak tengah adalah pada penglihatan, pendengaran, gerakan mata dan gerakan tubuh. Yang menjadi suatu pertanyaan bagi saya adalah , jika benar seperti yang dikatakan bebarapa pihak mengatakan bahwa otak tengah manusia tidak aktif maka perlu diaktifasi, maka tentu tidak mampu melihat, mendengar, juga gerakan mata menjadi tidak teratur. Atau mungkin aktifasi yang dimaksud sebuah terminology yang khusus dalam sebuah istilah tertentu.
Misalnya istilah dalam dunia komunikasi aktifasi kartu HP, berarti kartu sebelumnya tidak aktif dan tidak bisa digunakan setelah diaktifasi baru bisa digunakan. Atau aktifasi cakra dalam diri manusia yang bisa menghasilkan kekuatan supernatural. Istilah ini banyak digunakan oleh gerakan zaman baru. Oleh karena itu, istilah aktifasi sendiri masih merupakan sebuah pertanyaan yang perlu di jawab.
Yang saya masih belum puas adalah belum saya dapat info yang membuktikan perubahan dalam struktur otak tengah setelah aktifasi. saya coba cari lewat browsing di internet juga saya belum dapat.
Saya mencoba menelusuri lewat internet. Dari beberapa situs yang menawarkan aktifasi otak tengah terutama kepada anak-anak. Tidak menjelaskan secara jelas bukti riil aktifasi otak tengah selain dari hasilnya yaitu bisa melihat dengan mata tertutup/ melihat tanpa menggunakan fungsi saraf penglihatan, bisa menebak kartu. Tetapi bukti bahwa bisa melihat dengan mata tertutup, bisa memprediksi/meramalkan hal-hal yang akan terjadi apakah benar aktifitas otak tengah atau bukan masih belum jelas. Dan mengapa tidak diberikan bukti ilmiah seperti perubahan struktur otak tengah setelah mengalami aktifasi adalah pertanyaan yang patut diajukan.
Ada lagi pertanyaan yang menggelitik pikiran rasional saya, yaitu: mampu melihat tanpa menggunakan syaraf penglihatan apakah itu merupakan bukti bahwa otak yang mengatur syaraf penglihatan berfungsi optimal atau malahan sebaliknya menjadi tidak berfungsi?
Saya coba baca artikel-artikel mengenai Blind Fold Reading sebagai bentuk kerja otak tengah. artikel-artikel ini mengatakan bahwa hal ini adalah ilmiah, berdasarkan penelitian, tetapi tidak satupun memberikan bukti-bukti ilmiah yang jelas, dan terpercaya. Bukti penelitian juga tidak disertakan. Hal ini yang membuat saya bertanya-tanya.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini yang muncul dalam benak saya;
1. Apakah melihat tanpa menggunakan mata padahal punya mata banyak berpengaruh signifikan dalam keberhasilan dan kebahagiaan hidup seseorang?
2. Apakah benar tidak ada effect samping psikologis dalamjangka panjang jika benar memang ada aktifasi instant otak secara paksa?
3. Mengapa para orang tua mau begitu mudah menjadikan anak-anak mereka bahan uji coba tanpa tahu effect sampingnya?
4. Mengapa disertakan bukti-bukti ilmiah seperti perubahan dalam struktur otak, hasil penelitian, siapa peneliti yang melakukan?
5. Para pelatih aktifasi otak tengah tidak memberikan bio data akademik mereka, sehingga pembaca tidak mampu mengenali apakah informasi mereka memang layak dipercaya?
6. Mengapa orang-orang yang super jenius tidak bisa Blind Fold Reading? (orang-orang yang dikategorikan Jenius tidak ada yang bisa membaca dengan mata tertutup, misal Einstein, Farady, Alfa Edison, Newton, Mozzard, Feurbach, Bethoven, dll). Faktanya banyak mentalis (dalam dunia sulap) yang bisa Blind Fold Reading tidak jenius?
7. Apakah benar peningkatan prestasi anak-anak yang ikut kegiatan ini dikarenakan menjadi jenius, atau karena muncul kemampuan meramal jawaban saja?
8. Mengapa begitu mudah orang tersihir dengan istilah genius? Apakah membaca tanpa mata tanda kegeniusan seseorang?
Dari perenungan rasional ini saya berkesimpulan bahwa kemampuan membaca tanpa mata sebagai aktifitas otak tengah sifatnya masih hipotesis.
Membaca tanpa mata belum terbukti signifikan meningkatkan kecerdasan anak. (apakah membaca tanpa mata merupakan bentuk kecerdasan?)
Akhirnya sebelum mengakhiri tulisan ini, ada istilah teliti sebelum membeli. Jangan terbius kata-kata ilmiah, penelitian, genius, dan lain-lain. Jangan jadikan anak sebagai kelinci percobaan ambisi orang tua.

Minggu, 11 Oktober 2009

Keberhasilan dan Kegagalan Pendidikan Kristen
Berbicara tentang keberhasilan atau kegagalan pendidikan Kristen seringkali dikaitkan dengan keberhasilan akademis peserta didik. Artinya jika peserta didik berhasil lulus 100% atau sekolah-sekolah Kristen tetap eksis dan diminati banyak orang maka sekolah Kristen dianggap berhasil. Atau memiliki banyak alumni yang berhasil menjadi orang yang “berhasil” sekolah itu dikatakan berhasil. Konsep berpikir ini sesungguhnya salah, tetapi sudah umum diterima oleh masyrakat Kristen, dan pengelola pendidikan Kristen. Mereka cukup merasa berbangga hati jika peserta didik sukses secara akademik, mereka merasa berhasil mendidik karena output yang mereka hasilkan “berkualitas.”
Pengukuran keberhasilan pendidikan Kristen tidak pernah dikaitkan dengan visi pendirian pendidikan Kristen. Padahal Visi merupakan tujuan didirikannya pendidikan Kristen itu. Keberhasilan mestinya diukur dari apakah tujuan pendirian pendidikan Kristen tercapai atau tidak. Kalau tercapai, seberapa besar? Jika tujuannya untuk menciptakan peserta didik memiliki prestasi akademis unggul, ya mestinya keberhasilan dalam bidang akademik itu yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan. Tetapi jika sebuah lembaga Kristen tujuannya hanya sesempit ini, maka tidak ada bedanya dengan pendidikan non Kristen, karena tidak ada korelasi yang tegas antara lebel Kristen dengan tujuan pendirian lembaga pendidikan. Tetapi, jika pendiriannya membawa visi-misi Kristen, maka, visi-misi Kristen itu yang menjadi alat ukur keberhasilan pendidikan, bukan kepada prestasi akademis. Jadi evaluasi institusi mestinya dikaitkan dengan visi-misi yang menjadi tujuan pendirian lembaga pendidikan Kristen.
Visi diterjemahkan dari  tujuan pendidikan. Misi diterjemahkan dari visi pendidikan ke dalam proses pendidikan atau diimplementasikan dalam filosofi pendidikan, Kurikulum pendidikan, strategi pendidikan, media pendidikan, dan evaluasi, dan managemen pendidikan untuk menjamin bahwa output memiliki kompetensi sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari pendirian lembaga  pendidikan Kristen. Hal ini dapat dirangkum dengan pernyataan dibawah ini:
Visi=      Tujuan Pendidikan
Misi=     Sarana untuk mencapai Visi.
                Misi diimplementasikan dalam Proses belajar mengajar (Filosofi pendidikan, Kurikulum, strategi, media, dan evaluasi pembelajaran, manajemen pendidikan).

Berdasarkan dari hal tersebut di atas, maka seharusnya ada kaitan erat antara visi sekolah dengan kurikulum sekolah. Tetapi faktanya, tidak banyak sekolah yang mengintegrasikan visi ke dalam proses belajar mengajar. Sehingga seakan-akan visi hanya penghias tembok sekolah saja. Atau untuk “patut-patut” saja. Visi ini yang menjadi alat ukur bahwa pendidikan Kristen berhasil atau tidak. Misalnya jika Vision Statement Pendidikan Kristen adalah Melaksanakan amanat agung melalui dunia pendidikan, maka amanat agung itu harus diimplementasikan dalam proses pendidikan, dan yang menjadi alat ukur keberhasilan itu adalah berapa orang yang mengenal Kristus dan dimenangkan melalui pendidikan.

Hal ini menunjukkan bahwa banyak pendidikan yang menamakan diri sebagai pendidikkan Kristen tetapi sesungguhnya tidak membawa misi Kristen. Banyak pendidikan Kristen yang justru membawa misi kapitalisme, membawa misi Industri, yaitu indutri pendidikan, misi profitisasi pendidikan (mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya lewat bisnis pendidikan atau komersialisasi pendidikan), yang sesungguhnya semua itu bertentangan dengan visi-misi Kekristenan. Lebih baik secara jujur pendidikan yang seperti ini memisahkan diri dari gereja, dan meninggalkan lebel pendidikan Kristen. Keberpihakan kepada ketertindasan yang menjadi visi misi kekristenan tidak tampak dalam kiprah lembaga-lembaga ini. Mereka berupaya terus eksis dalam persaingan global tetapi bukan demi visi-misi pendidikan Kristen, tetapi demi urusan perut dan dapur. Anehnya gereja-gereja tidak bersikap Kritis terhadap hal ini, dan merestui industrialisasi pendidikan berpayung gereja, komersialisasi berpayung pelayanan.
Akhirnya apakah pendidikan Kristen berhasil atau gagal? Jelas banyak yang gagal dari berhasil.

Jumat, 10 Juli 2009

Alkitab menandaskan bahwa tanggung jawab pendidikan itu berpusat pada keluarga. Tanggung jawab itu bukan hanya sekedar bertanggung jawab membiayai sekolah setinggi-tingginya, tetapi juga melaksanakan pendidikan sebaik-baiknya bagi putra dan putrinya. Seperti halnya era industri yang mengalienasi anak dari orang tua, demikian juga sekolah yang juga bagian atau kepanjangan tangan dari industri memiliki peran mempercepat hal ini. Waktu kebersamaan keluarga semakin kurang. Anak-anak sejak kecil dijejali dengan berbagai ilmu-ilmu yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan dan masa depannya yang menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kepribadian dan ketrampilannya sesuai dengan minat dan bakatnya, demi memenuhi ambisi orang tua, dan atas pesanan industri demi tersedianya tenaga kerja.

Berapa jam sehari waktu digunakan anak untuk sekolah dan keluar dari lingkup keluarga. Setelah industri memisahkan anak dari pelukan ibu sejak dini, sekolah pun melanjutkan hal yang sama, mencabut hak anak untuk mengembangkan kepribadian, kebersamaan, keceriaan, dan indahnya hidup. Sejak usia dini anak diajar berkompetisi, bukannya bersinergi.

Orang tua kini menyerahkan tanggung jawab pendidikan 90% bahkan lebih dipundak sekolah. Sekolah yang juga merupakan bagian dari industri, tidak mempermasalahkan hal ini, asalkan orang tua menukar jasa pendidikan dengan sejumlah uang. Kemanusiaan menjadi diperas sebagai intelektualitas, dan kesuksesan materi. Orang tua menjadi asing dengan anak, anka juga demikian. Orang tua merasa sudah memberikan segalanya utuk anak, tetapi anak tidak bia mengerti dan berterimakasih, sedagnkan dipihak anak, ia merasa sudah banyak menuruti kehendak dan ambisi orang tua, sampai sampai rela mengorbankan kesenangannya, masa-masa bermainnya, tetapi orang tua tidak merasa puas dan terus menuntut lebih lagi kepada anak. Hari demi hari jurang permusuhan antara anak dengan orang tua semakin lebar, kesalahpahaman semakin besar, karena orang tua tidak dapat mengerti anak, dan anak tidak dapat mengerti orang tua. Karena masing-masing dengan penjara kesibukannya. Sianak dipenjara kertas dan PR, orang tua dipenjara pabrik dan produksi.

Pendidikan gereja pun memegang peranan dalam mengalienasi anak dengan orang tua. Pendidikan anak sama sekali tidak melibatkan orang tua. Cukup guru sekolah minggu yang cerita, mengajar, orang tua hanya mengantar anak. Tanggung jawab orang tua dipindahkan kepundak sekolah minggu. Orang tua senang, karena beban mendidiknya berkurang, guru-guru sekolah minggu juga senang, karena pikirnya ia sedang melayani yang terbaik bagi anak dan menyenangkan Tuhan. Masih ada lagi lembaga-lembaga pembinaan anak-anak yang dengan rela hati dan tulus ikhlas membina anak-anak, tetapi tetap saja mencabut kebersamaan anak dengan orang tua. Memisahkan sama sekali pendidikan anak dari campur tangan orang tua. Orang tua hanya sebagai sopir yang menghantar anak-anak dalam acara pembinaan, tetapi tidak melibatkan orang tua dalam pembinaan.

Lebih bijak jika gereja maupun lembaga pembinaan-pembinaan anak menolong orang tua untuk dapat mengajar kebenaran firman Tuhan kepada anak, bukan malah mengambil alih tanggung jawab orang tua. Panduan materi diberikan, anak-anak diberikan pengajaran dari orang tuanya sendiri sesuai dengan panduan yang disediakan, dengan dipantau oleh Pembina yangkemudian bersama dengan para orang tua mendiskusikan kendala-kendala yang dijumpai. Dengan demikian gereja maupun lembaga-lembaga pelayanan anak tidak menjauhkan orang tua dari anak.

Jumat, 01 Mei 2009

Postmodern

Gereja Memasuki Zaman Postmodern

Pendahuluan

Istilah postmodern di Indonesia sekarang sudah mulai banyak dibicarakan baik lewat media lisan maupun tulisan, baik dalam dunia keristenan, maupun non Kristen. Sebenarnya apakah Post modern itu, sehingga sering disebut-sebut dan dikait-kaitkan dengan berbagai hal? Sudahkah saatnya kita di Indonesia ini berbicara tentang postmodern ini? Pertanyaan keraguan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa di Indonesia kondisi masyarakatnya begitu majemuk dalam hal tingkat kebudayaan. Di satu sisi, sebagian masyarakat hidup dalam alam yang serba wah, dengan standard moral yang tidak jelas seperti ciri-ciri postmodern, disisi lain sebagian masyarakat baru merangkak mengenal tekhnologi dan ilmu pengetahuan sebagaimana zaman modern. Sedang di belahan nusantara lain dipelosok pedalaman masih ada masyarakat yang hidup dizaman tradisional pramodern bahkan ada yang masih hidup di zaman batu.

Disamping fakta-fakta yang terjadi di Indonesia seperti tersebut di atas, postmodern sendiri di tempat kelahiranannya yaitu dunia Barat juga baru memasuki tahap transisi dari masa modern ke postmodern. Oleh karena itu sekarang dapat dikatakan postmodern baru dalam proses mencari bentuk. Para ahli pun belum memiliki kata sepakat mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam postmodern, kecuali dalam hal penolakkannya terhadap modernisme. Sehingga secara final kita tidak dapat berbicara apa itu postmodern. Mengenai hal ini Grenz mengatakan: Para Ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten.[1]

Berdasarkan kenyataan di atas, timbul suatu pertanyaan, sebenarnya sudah saatnya kah kita yang di Indonesia ini berbicara tentang postmodern? Penulis meyakini bahwa sekarang sudah saatnya berbicara tentang postmodern, bahkan sudah sangat penting dan mendesak untuk dibahas dengan serius, terutama pemimpin-pemimpin rohani. Ada beberapa alasan mengapa penulis berpendapat demikian. Pertama, mau tidak mau, dibicarakan atau tidak postmodern akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan tekhnologi informasi yang deras mengalir saat ini dampak postmodern akan sangat cepat mempengaruhi dunia. Belahan-belahan dunia yang selama ini dianggap sebagai daerah yang terasing dan terisolir ternyata sekarang banyak yang sudah dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Sementara itu, komunikasi merupakan sarana pertukaran budaya, dan nilai-nilai filosofis. Kemajuan tekhnologi komunikasi sebagai sarana tranfer infromasi inilah yang menjadi kendaraan bahkan simbol postmodern. Mengenai derasnya arus informasi di zaman postmodern ini Grothuis mengatakan: informasi tampil secara berlebihan tetapi tidak diarahkan pada tujuan tertentu, dan terpisah dari teori, makna, dan tujuan.[2] Hal ini menyebabkan manusia-manusia memiliki pola pikir yang terpecah-pecah dan tidak terstruktur.

Alasan yang kedua, penulis berkanjang dari sejarah, dimana sejarah pemikiran gereja-gereja di Indonesia di dapati sering tertinggal dengan isu-isu faktual, sehingga tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan zaman. Setelah mengalami kesulitan, barulah sibuk dengan mencari jalan keluar, tepat seperti yang dikatakan Yesus rupa langit engkau tahu, tetapi tanda-tanda zaman engkau tidak mengetahuinya. Hal ini dikarenakan pola pikir kita yang sempit, anti terhadap perubahan, dan terlena dengan kenyamanan fasilitas atau sibuk memperoleh kenyamanan fasilitas.

Mengingat bahwa postmodern pada dirinya sendiri sedang mencari bentuk atau identitas seumpama seorang remaja dalam masa krisis adolensia, maka disini penulis membatasi diri dengan hanya membahas sebatas gejala-gejala dan pencapaian-pencapaian filosofis dan sosiokultural yang telah berhasil diusahakan postmodern serta beberapa faham-faham yang diusungnya, karena sebenarnya seperti apa postmodern itu secara menyeluruh saat ini belum dapat disimpulkan secara final.

Apakah Postmodern itu?

Istilah ini membedakan dengan masa pra modern, maupun modern, meskipun masa post mdern sesungguhnya anak dari modernisme. Kalau Protestanisme menghasilkan pencerahan, evangelicalisme menghasilkan modernisme, maka pentakostalisme menghasilkan atau paling tidak menjadi daya dorong yang sangat besar bagi postmodernisme

Masa pra modern adalah masa dimana otoritas budaya berjalan dengan stabil, tanpa dipertanyakan dan dikritisi, termasuk keyakinan-keyakinan religius. Pendek kata manusia pra modern menerima apa saja yang diajarkan oleh kebijakan-kebijakan tradisional dan lembaga yang dianggap berotoritas, sehingga budaya berlangsung relatif stabil karena tanpa gejolak yang berarti seperti masa setelahnya. Sedangkan masa Modern adalah masa dipertanyakannya atau lebih tepat disangsikannya otoritas budaya berdasarkan penalaran manusia. Hal-hal yang dipertanyakan bukan saja hal-hal berkenaan dengan norma-norma budaya, tetapi juga nilai-nilai religius. Grothuis mengatakan: Modernisme dimulai dengan upaya untuk memenuhi realitas objektif tanpa perlu kembali pada wahyu ilahi atau tradisi religius.[3] Dengan demikian keyakinan terhadap kemampuan akal budi manusia mencapai puncak yang sangat tinggi, mengantikan wahyu ilahi. Rasio manusia dianggap akan mampu menjawab segala realita yang ada, termasuk dalam ranah moral dan religius. Di Eropa tempat kelahiran dari modernisme sekaligus juga tempat berkembangnya kekristenan, Alkitab di sangsikan kebenarannya dan dihakimi berdasarkan akal budi dan ilmu pengetahuan.

Akhir abad 19 hingga awal abad 20 kepercayaan terhadap kemampuan daya pikir manusia ternyata membuahkan kekecewaan, karena hasil budi daya manusia justru menghasilkan beberapa hal negatif antara lain kerusakan alam dan penderitaan dipihak manusia sendiri dengan adanya perang dunia, perang nuklir, dan perlombaan alat perang yang canggih. Modernisme dinilai gagal membawa kebaikan bagi manusia. Selain itu individualisme yang menyertai sebagai akibat perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mempercepat kekecewaan-kekecewaan yang meruntuhkan keyakinan yang besar terhadap akal budi yang selama ini dianut. Individualisme menghasilkan kekosongan jiwa dan kemiskinan relasi antar manusia.

Selain itu perjumpaan-perjumpaan dengan budaya-budaya non kristen akibat globalisasi yang dipicu kemajuan sarana transportasi dan komunikasi menyebabkan dipertanyakannya keyakinan-keyakinan filosofis dan religius yang selama ini diakui sebagai satu-satunya kebenaran. Setiap golongan mengklaim kebenaran yang diyakininya merupakan kebenaran yang paling objektif dan absolut. Perjumpaan-perjumpaan antar budaya itu mendorong munculnya suatu suatu babak sosiokultural dan filosofis yang baru, yaitu postmodern.

Mengenai postmodern Grothuis mengatakan:

Menurut mereka ide tentang kebenaran objektif harus ditinggalkan bersama dengan sisa-sisa modernisme, yang dianggap upaya menyesatkan dari abad pencerahan, yang ingin mendapat kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah dan moral. Bagi mereka kita saat ini berada dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu dibelakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana. [4]

Jadi bisa disimpulkan bahwa postmodern menolak segala kebenaran objektif dan mutlak. Satu-satunya kebenaran yang layak dipercaya adalah “kebenaran bersifat relatif.” Kepercayaan terhadap akal budi digantikan dengan kepercayaan terhadap pengalaman atau perasaan tiap-tiap individu berdasarkan pengalaman. Yongky Karman secara meyakinkan mengatakan:

Postmodernisme menyerang status khusus kebenaran yang satu, universal, total, dan absolut sebagaimana dipahami dalam modernisme. Kebenaran tunggal dan universal tidak diakui. Yang ada hanya kebenaran-kebenaran yang benar untuk setiap masyarakat atau komunitas. Maka kebenaran dipahami sebagai terpecah-pecah kedalam kebenaran-kebenaran yang sederajat tanpa accuan normatif tunggal di luarnya. Tidak ada tradisi atau ideologi yang berdiri diatas tradisi yang lain atau ideologi yang lain. Yang diyakini seseorang sebagai benar bukan lagi kebenaran tunggal melainkan bagian dari pluralisme kebenaran.[5]

Sedangkan Stanley J. Grenz mengatakan: Filsafat postmodern menerapkan teori dekonstruksi kepada realitas. Sebagaimmana setiap teks dibaca secara berbeda, demikian juga realitas akan dibaca berbeda oleh setiap orang yang menghadapi realitas tersebut. Ini berarti tidak ada makna tunggal dalam dunia, tidak ada titik pusat sebuah realita. (A Primer On Postmodernism, Andi 2001, Jogjakarta hal 14)[6]

Ini berarti postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran lain. Setiap orang bebas menafsirkan setiap realitas tanpa suatu standar apapun dan semuanya harus diakui dan dihargai sebagai kebenaran. Kebenaran bersifat relative, kebenaran bergantung pada setiap subjek. Namun demikian sebenarnya kebenaran bagi postmodern bukan sepenuhnya subjektif individualis. Subjektivitas postmodern adalah subjektivitas komunal, sebab kebenaran merupakan kesepakatan komunal. Grenz mengatakan: cara pandang postmodern menjadikan komunitas sebagai dasar pemahaman kebenaran.[7] Oleh karena penentu kebenaran adalah komunitas, maka tidak ada kebenaran yang mutlak dan kekal. Semua kebenaran bersifat relatif dan fluktuatif. Mereka menegaskan bahwa kebenaran hanyalah aturan-aturan dasar demi kesejahteraan komunitas tempat kita berada.[8] Dengan demikian keputusan keputusan pribadi tidak dianggap penting, karena setiap pribadi hendaknya menyesuaikan diri dengan komunitas. Orang-orang individulis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan komunitas akan tersingkir.

Meskipun dalam banyak hal para ahli sendiri belum memiliki kata sepakat namun pada intinya postmodern menolak metanarasi, kebenaran mutlak, objektif dan universal. Sebagai gantinya menawarkan formula relatif, subjektif, dan komunal. Sedagnkan dalam tataran aplikatif postmodern meninggalkan individualisme, religiositas, rasionalitas dengan memberikan alternatif komunalisme (kebersamaan dalam komunitas), spiritualitas (spiritualitas di terangkan sebagai hal yang berbeda dengan religiositas, karena spiritualitas diartikan sebagai kondisi bathin yang merdeka bebas dari doktrin-doktrin agama), dan eksperimentalitas.

Sejarah Singkat Perkembangan Postmodern

Konsep postmodern muncul tahun 1930-an oleh Frederico de Onis dari spanyol. Ia memperkenalkan pemikirannya sebagai reaksi atas modernisme. Namun sebenarnya sebagai gagasan-gagasan sosiokultural konsep ini sudah ada sebelumnya. Arnold Toynbee yang dianggap sebagai seseorang yang mempopulerkan postmodern meskipun ia sendiri tidak yakin kapan tepatnya masa inkubasi postmodern karena ia berpendapat mungkin lahirnya postmodern pada masa perang dunia I tahun 1914 atau tahun 1870, tetapi ia sangat yakin akan sebuah sejarah pemikiran baru yang akan segera merubah arah pemikiran dunia telah lahir.

Postmodern menjadi sebuah momentum sosiokultural kurang lebih 40 tahun kemudian meskipun sebagai konsep sudah dirumuskan tahun 1930. Leslie Fiedler lah yang menambahkan istilah post pada kata modern sehingga menjadi istilah postmodern bagi konsep yang menteng modernisme pada tahun 1965.

Postmodern menginfeksi seluruh bidang kehidupan dimulai dari suatu komunitas kecil di tahun 1960-an yang terdiri dari seniman, arsitek, dan pemikir yang mencari alternatif untuk melawan dominasi kultur modern. Sejak itu postmodern mulai menjalar secara cepat ke bidang-bidang yang lain, sehingga menjadi fenomena sosiokultural yang menyeret berbagai disiplin ilmu ke dalamnya. Berbagai reaksi kontra terhadap perkembangan postmodern dan pengeksploitasian efek-efek negatif pemikiran postmodern tidak juga membuat pemikiran ini mati, malahan menjadi semakin terkenal dan banyak orang yang terhisap kedalamnya.

Ada beberapa pemikir-pemikir Kristen yang demikian menentang arus pemikiran zaman ini dengan mencitrakan postmodern melulu negatif. Salah satunya adalah Harry Blamires. Dia mendefinisikan pemikiran postmodern sebagai pemikiran pasca Kristen atau Post Christian. Dalam Post Christian Mind dia mengatakan:

Tidak ada keraguan bahwa dengan mendekatnya abad ke 21, kekristenan menghadapi permusuhan yang hebat, termasuk negara-negara Barat yang pernah dianggap sebagai benteng peradaban Kristen. Saat meliha tsekeliling, kita pasti menyadari betapa kuat dan busuknya serangan terhadap iman Kristen yang kita pegang dan yang kita anggap sebagai dasar peradaban Barat. Humanisme sekuler merupakan campuran relativitas yang menentang berbagai nilai dan kemutlakan tradisional, dan paham ini sedagn menginfeksi udar intelektual yang kita hirup.[9]

Pandangan negatif ini tidak sepenuhnya benar, sebab dalam setiap tahap perkembangan zaman selalu terdapat unsur-unsur yang menyerang iman kekristenan. Pada masa Abad Pertengahan Wahyu ilahi dipenjara dalam hierarki organisatoris dan tradisi. Sedangkan pada masa modern yang sepertinya begitu dibela oleh Blamires, pada masa ini terdapat golongan yang menganggap kebenaran yang absolut adalah rasio manusia, dan ada golongan yang memutlakkan dogma sebagai kebenaran tertinggi, sehingga menolak segala bentuk dialog dan kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda dogma. Oeh karena itu tampaknya tidak adil jika hanya pemikiran zaman postmodern saja yang dianggap pemikiran pasca Kristen. Setiap zaman pun juga memiliki unsur-unsur pemikiran pasca Kristen. Beranjak dari hal itu kita perlu menyadari bahwa setiap tahap-tahap perkembangan zaman selalu disertai efek-efek negatif yang dihasilkan namun juga ada efek-efek positif yang disumbangkan. Demikian juga postmodern penulis yakini tidak melulu negatif, melainkan ada unsur-unsur positif, bahkan ada juga pemikiran yang sepertinya negatif bagi pemikiran kekristenan konvensional ternyata dapat didayagunakan untuk menghasilkan sesuatu yang positif.

Pola-pola Hidup Manusia Postmodern.

Pemikiran menhasilkan gaya hidup. Demikian juga pemikiran postmodern menghasilkan gaya hidup postmodern. Orang-orang cenderung menilai postmodern menghasikan gaya hidup hedonisme, menipisnya kesadaran akan nilai-nilai kesucian, dll, tetapi sebenarnya postmodern tidak identik sikap hidup yang demikian. Sikap hidup negatif tersebut merupakan salah satu hasil dari penafsiran falsafah postmodern.

Paul Hidayat mendeskripsikan gaya hidup postmodern sebagai gaya hidup yang experimentasi, pegeseran paradigma, isu moral menjadi isu fashion, isu opsi-opsi pribadi[10] Berdasarkan dari penggambaran di atas, dapat dikembangkan ciri-ciri pola hidup postmodern antara lain:

1. realita dipandang bersifat organis, holistik sehingga berhubungan satu dengan yang lain. Hal ini berbeda dalam pandangan modern yang menganggap realitas bersifat mekanis

2. kebenaran dipandang bersifat relative karena kebenaran ditafsirkan secara subjektif, fragmentaris, demi kepentingan politis dan kontekstual.

3. Menekankan unsur subjektivitas. Hal ini deisebabkan filosofis yang menyebutkan sesungguhnya realitas yang sungguh-sungguh objektif (das ding an sich) tidak dapat diketahui. Kebenaran yang selama ini diklaim sebagai kebenaran tunggal sesungguhnya hanyalah sebuah penafsiran dari suatu fenomena namun dari sudut pandang yang berbeda saja. Dalam hal moral muncul gerakan Moralitas Baru yang membenarkan sesuatu hal yang ditabukan atau dianggap dosa oleh pandangan moral tradisional.

4. Menekankan unsur pengalaman yang didapat dari eksperimentasi. Orang-orang postmodern tidak membutuhkan pembuktian secara rasio, tetapi pembuktian berdasarkan pengalaman atau melakukan eksperimen sendiri.

5. Memiliki kehausan akan relasi. Komunitas memiliki pengaruh yang sangat besar dan dianggap lebih penting dari setiap individu. Oleh karena itu keputusan-keputusan individu selalu dipengaruhi keputusan-keputusan komunitas. Individu-individu kurang berani mengambil keputusan-keputusan pribadi.

6. Mementingkan kebersamaan. Grenz mengatakan: generasi mendatang tidak lagi percaya bahwa manusia akan sanggup menyelesaikan masalah-masalah dunia sekalipun ekonomi mereka lebih baik daripada ekonomi generasi lalu (orang tua mereka). Mereka melihat bahwa hidup di dunia ini rawan, kalau manusia mau bertahan hidup, mereak harus mau bekerja sama, bukan saling menaklukkan[11] oleh karena itu klaim kebenaran eksklusive ditolak dan digantikan dengan menghargai dan mengakui adanya kebenaran dipihak lain, bahkan cenderung mengasimilasikannya. Dari hal ini munculah pemikiran inklusivisme dan pluralisme

7. Sistem organisasi berubah dari organisasi yang hirarkis menjadi model jaringan kerja (net work) yang sederajat.

8. Menolak individualisme dan rasionalisme, tetapi menerima komunalisme dan relativisme. Menolak universalisme/absolutisme dan eksklusvisme, tetapi menerima kontektualisme, partikularisme, pluralisme.

9. Secara ambigu menolak gagasan globalisasi tetapi mendorongnya terwujudnya globalisasi, meskipun globalisasi yang di wujudkan globalisasi tanpa arah (globalisasi bingung). Dalam hal Etika berusaha mewujudkan suatu bentuk etika global yang dapat diterima semua orang secara universal.

Tantangan gereja di Era Postmodern

Dengan berubahnya pola hidup masyarakat yang menjadi sasaran misi gereja, penulis berpikir gereja perlu kembali merenungkan pola-pola gerejawi yang selama ini dianut dengan mantap. Pola-pola lama yang berhasil dimasa lampau belum tentu relevan dimasa sekarang ini. Gereja perlu menata ulang kembali strategi pelayanannya untuk menjawab kebutuhan jemaat, sesuai dengan tantangan-tantangan zaman yang sedang dihadapi jemaat. melalui tulisan ini penulis memberikan saran-saran praktis bagi gereja antara lain:

1. gereja perlu secara seimbang membawa jemaat kepada pengertian yang benar tentang kekristenan sekaligus membawa jemaat kedalamm pengalaman rohani yang sejati.

2. karena komunitas begitu penting bagi orang-orang postmodern, gereja perlu membentuk komunitas-komunitas kristiani yang kuat, dan suasana gereja hendaknya di buat sedemikina rupa, sehingga gereja serasa rumah kedua bagi jemaat.

3. kehausan relasi yang dialami masyarakat postmodern ini perlu dijawab gereja, dengan menunjukkan bahwa Yesus lah yang mampu memuaskan kehausan mereka. Disamping itu gereja juga perlu memobilisasi kebersamaan jemaat dengan acara-acara yang mampu mengakrabkan antar jemaat.

4. masyarakat postmodern menolak metanarasi (kisah siapa) dan beralih mere-narasi (siapa yang mengkisahkan) oleh karena itu kepentingan keteladanan hidup di zaman ini sangat besar. Orang melihat kebenaran kekristenan bukan lagi terletak pada pemahaman terhadap doktrin kristen melainkan melihat cara hidup kekristenan. Oleh karena itu tidak heran jika Eropa sekarang sedang dalam perjalanan beralih dari kekristenan keagama-agama Asia (Islam, Hindu, Budha, Gerakan Zaman Baru) karena melihat praktik kehidupan agama-agama Asia yang tampaknya lebih bermoral ketimbang praktik hidup orang-orang Kristen di Eropa sendiri.

5. model pemerintahan gereja yang hierarkis di pikiran orang-orang postmodern merupakan batas antara rohaniwan dan jemaat, sehingga menyebabkan kekakuan relasi.



[1] Stanley J., Grenz, Yogyakarta, 2001, A Primer On Postmodern.

[2] Gruthuis hal hal 24.

[3] ibid, hal 24.

[4] Ibid hal 4

[5] Yongky Karman, Pengaruh Postmodernisme dalam Pendidikan, makalah yang disampaikan dalam retreat guru Kristen di Shekinah Village Depok, 23-25 September 2006.

[6] Stanley J. Grenz, Andi, Yogyakart, 2001 A Primer On Postmodrenism hal 14

[7] ibid hal 17

[8] ibid hal 17

[9] Harry Balmires, Momentum, Surabaya, 2003, The Post Christian Mind.

[10] Paul Hidayat, Zaman Postmodernisme. Makalah dalam seminar guru yang high impact, sekhinah Vilage Depok,23-25 September 2006

[11] op cit, Gernz hal 16